Sabtu, 23 Agustus 2025

Demo mahasiswa menolak UU TNI menjalar ke berbagai kota

Mahasiswa di berbagai kota bangkit menolak Revisi UU TNI yang telah disahkan DPR pada 20 Maret lalu. Aksi demonstrasi diwarnai intimidasi,…

BBC Indonesia
Demo mahasiswa menolak UU TNI menjalar ke berbagai kota 

Aksi berjalan dengan relatif lancar, kata Ramdan. Namun, usai berbuka puasa, barulah aksi kekerasan itu meletus.

"Habis magrib muncul mereka yang memakai tameng. Aku juga lihat tentara," kata Ramdan lagi.

Kronologi dari LBH Pos Malang menyebut bentrokan mulai terjadi sekitar pukul 18.20 WIB saat sekelompok orang merangsek ke dalam Gedung DPRD lewat Pintu Utara. Selang 10 menit kemudian polisi dibantu tentara mulai memukul mundur massa.

Dalam video-video yang beredar di media sosial, polisi dilengkapi tameng dan tongkat pemukul dibantu tentara terlihat mengejar massa dan melayangkan tongkat berwarna kuning beberapa kali kepada seseorang yang tidak tampak di dalam video—karena telah dikerubungi aparat keamanan.

Dalam video lainnya sebuah titik api yang besar dapat terlihat di dekat sebuah pos keamanan yang menjadi sasaran pengrusakan.

Video lainnya memperlihatkan seorang anak muda berjaket biru yang kepalanya luka dan dibalut perban dalam keadaan terborgol saat hendak dibawa ke ambulans.

Polisi dan tentara, dalam video lainnya juga terlihat mengerubungi beberapa orang yang tampak memakai atribut medis.

Kepala Humas Polresta Malang, Yudi Risdiyanto, telah merespons pesan BBC NewsIndonesia untuk permintaan wawancara.

Namun Yudi tidak memberikan keterangan tambahan karena dia masih menunggu arahan dari kepala Polresta, "…karena semua satu pintu di Pak Kapolresta," tulis Yudi dalam pesannya.

Mengapa demonstrasi menolak UU TNI menjalar ke berbagai kota?

Redaktur Jurnal Prisma dan Senior Research Fellow LP3ES, Rahadi Wiratama, menyebut menyebarnya aksi demonstrasi penolakan revisi UU TNI ke berbagai wilayah tidak lepas dari tumbuhnya kelompok-kelompok kritis di berbagai kota di seluruh Indonesia.

"Itu satu tanda bahwa kelompok atau kelas kritis itu relatif menyebar di Indonesia," sebutnya.

Dia juga menyebut konsolidasi demokrasi ini adalah semacam buah setelah 25 tahun Reformasi.

Para mahasiswa yang menjadi motor utama gerakan ini juga lahir setelah era Reformasi.

"Mereka tidak mengalami masa transisi dari Orde Baru ke Orde Transisi. Mereka sudah menikmati 'kebebasan relatif' yang diperoleh dari Reformasi," jelasnya.

Menurut Rahadi, ketika kebebasan para mahasiswa terancam dengan menguatnya peran militer dan revisi UU TNI, maka muncullah aksi-aksi ini.

Tapi Rahadi mengingatkan masih banyak kendala setelah 25 tahun Reformasi.

"Di tengah jalan kita menyaksikan kebalikannya. Alih-alih mengonsolidasi demokrasi, [kita malah seperti] menuju sistem politik yang gejalanya mirip dengan otoritarianisme Orba," ujarnya.

Dia juga melihat banyak pihak yang tampaknya berusaha memadamkan isu kembalinya militerisme.

"Ada kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mewacanakan 'kita sudah tidak butuh kebebasan sipil, supremasi sipil, tapi butuh sandang pangan'," ungkapnya.

Hal ini, menurutnya, adalah penanda bahwa kesadaran publik mengenai ancaman terhadap demokrasi masih terdistorsi sehingga isu-isu kebebasan sipil masih hanya bersirkulasi di kelompok-kelompok kritis di kampus dan lembaga swadaya masyarakat.

Menjaga momentum

Kembalinya militer pada jabatan-jabatan sipil, menurut Rahadi, adalah ancaman serius bagi supremasi sipil.

"Prinsip supermasi sipil merupakan elemen fundamental dalam negara demokratis untuk memastikan bahwa militer dan lembaga keamanan tetap tunduk pada kontrol politik yang sah dan tidak mengambil alih peran pemerintahan," tegasnya.

Meski begitu, Rahadi optimistis situasi buruk yang terjadi di Orde Baru tidak akan kembali 100%.

"Bahwa ada indikasi otoritarianisme melalui UU TNI, iya betul. Tapi akan sulit untuk dinyatakan bahwa [situasi] akan berulang persis sama seperti Orde Baru," paparnya.

Rahadi menilai hal ini disebabkan masih ada sebagian publik yang melek politik.

Kekuatan itu juga bisa berasal dari media sosial. Kata dia, sulit untuk membendung arus informasi.

"Efek komunikasi dan efek media sosial di masyarakat susah dibendung. Jadi, semua informasi publik yang terkait dengan UU TNI muncul bersamaan hari itu juga di Indonesia di seluruh dunia. Enggak terhalang," tuturnya.

Di media sosial juga muncul semacam solidaritas untuk memelihara momentum dengan berbagai macam cara.

Beberapa akun media sosiall, misalnya, menyerukan untuk memasang stiker di sepanjang jalan-jalan untuk membangukan kesadaran warga.

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan