Rabu, 27 Agustus 2025

Konflik Iran Vs Israel

Kelompok Garis Keras Iran Kecam Perundingan Nuklir dengan AS, Khamenei Mulai Tak Dipatuhi?

Adanya perpecahan tajam dalam kepemimpinan Iran terkait keputusan pemimpin tertinggi mereka, Ali Khamenei, setuju berunding dengan Amerika soal Nuklir

khamenei.ir
PEMIMPIN TERTINGGI - Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, bertemu dengan keluarga Martir Keamanan di husayniyya Imam Khomeini pada Minggu (27/10/2024). Delegasi Iran dalam perundingan dengan Amerika Serikat (AS) soal program nuklir di Oman, berangkat atas persetujuan Khamenei. 

Kelompok Garis Keras Iran Kecam Perundingan Nuklir dengan AS, Khamenei Mulai Tak Dipatuhi?

TRIBUNNEWS.COM - Saat persiapan untuk perundingan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat (AS) di Oman semakin intensif, perpecahan dalam kepemimpinan politik dan agama Iran kembali muncul.

Laporan media NW melansir, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei dengan berat hati menyetujui perundingan dengan AS tersebut.

Baca juga: Beri Waktu 2 Bulan ke Iran, AS: Israel Pimpin Pengeboman Teheran Jika Perundingan Nuklir Gagal

"Di balik keputusan tersebut, ulama garis keras Iran yang loyal kepada Khamenei berbicara lantang menentang keputusan tersebut," tulis laporan NW, dikutip Minggu (13/4/2025).

Laporan itu menyertakan disclaimer kalau kementerian luar negeri Iran belum memberikan komentar atas kabar konflik internal Iran ini.

Sebegai konteks, perundingan soal nuklir tersebut berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan AS-Iran, yang didorong oleh perluasan program nuklir Teheran dan peringatan Washington tentang potensi aksi militer.

Baca juga: Bersiap Hadapi Serangan AS-Israel, Iran Akan Bangun Pangkalan Baru Armada Drone

Sementara negosiasi dapat membuka jalan menuju de-eskalasi, negosiasi tersebut juga telah mengungkap adanya perpecahan tajam dalam kepemimpinan Iran

"Jika oposisi garis keras menghambat diplomasi, risiko konfrontasi (baik perang terbuka AS-Iran maupun perpecahan internal Teheran) potensial akan meningkat," tulis laporan tersebut.

Meski Khamenei tampaknya menyetujui negosiasi tidak langsung dengan AS tersebut, para ulama senior negara Syiah tersebut telah mengutuk segala bentuk kontak dan komunikasi dengan Washington. 

Dalam khotbah Jumat di seluruh Iran, para ulama garis keras—yang ditunjuk langsung oleh Pemimpin Tertinggi—mengeluarkan peringatan keras agar tidak berkompromi dengan apa yang mereka anggap sebagai musuh yang tidak dapat dipercaya.

Retorika mereka menggarisbawahi perlawanan yang mendalam dalam lembaga teokratis.

"Berunding dengan Amerika bertentangan dengan harga diri nasional kami," kata Ahmad Alamolhoda, pemimpin salat Jumat yang berpengaruh di Mashhad, menurut kantor berita Iran MNA.

"Tidak ada warga Iran yang menghargai diri sendiri yang mau datang ke AS dengan tangan kosong." tambahnya.

"Tidak ada ruang untuk negosiasi sama sekali jika mereka ingin mengambil alih tenaga nuklir dari kita," kata ulama garis keras, Kazem Sedighi, yang menyuarakan pandangan serupa dalam khotbah mingguan.

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. (Anadolu/Middle East Monitor)

Dukungan Pemimpin Tertinggi

Khamenei diketahui telah lama menyuarakan skeptisisme tentang diplomasi dengan AS.

Meski demikian, kali ini, menurut media yang dekat dengan kantor pemimpin Iran, menekankan kalau pembicaraan di Oman tidak akan berlangsung tanpa persetujuan tegas pemimpin tertinggi tersebut. 

Artinya, jika Iran mengirimkan delegasi ke Oman, itu dengan persetujuan Khamenei.

Presiden Iran, Masoud Pezeshkian telah mengonfirmasi kalau Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi akan memimpin delegasi Iran dalam diskusi mendatang, yang diharapkan akan berpusat pada pembatasan program nuklir Teheran.

Wilayah industri di Ibu Kota Iran, Teheran. Iran dilaporkan berencana memindahkan ibu kotanya dari Teheran ke wilayah Selatan negara tersebut. Dilaporkan, wilayah Makran dekat Teluk Oman diproyeksi menjadi lokasi baru ibu kota Iran. Masalah kepadatan dan lingkungan menjadi alasan utama rencana pemindahan ibu kota, namun disebut-sebut Iran juga bersiap menghadapi perang besar melawan Israel.
IBU KOTA - Wilayah industri di Ibu Kota Iran, Teheran. Iran dilaporkan berencana memindahkan ibu kotanya dari Teheran ke wilayah Selatan negara tersebut. Dilaporkan, wilayah Makran dekat Teluk Oman diproyeksi menjadi lokasi baru ibu kota Iran. Masalah kepadatan dan lingkungan menjadi alasan utama rencana pemindahan ibu kota, namun disebut-sebut Iran juga bersiap menghadapi perang besar melawan Israel. (ATTA KENARE / AFP)

Tekanan Ekonomi Memicu Perdebatan

Pihak di Iran yang menentang negosiasi dengan AS berpendapat kalau tidak boleh ada kesepakatan yang dicapai dengan mengorbankan kedaulatan atau posisi pertahanan Iran.

Mereka menunjuk penarikan diri AS dari JCPOA di bawah Presiden Donald Trump pada tahun 2018 sebagai bukti hipokrasi dan ketidakandalan Amerika.

Namun, keruntuhan ekonomi Iran yang sedang berlangsung pada akhirnya dapat mendorong pendekatan yang lebih pragmatis.

Nilai mata uang Iran anjok dan telah kehilangan lebih dari 90 persen nilainya sejak 2018, hampir setengah dari populasi sekarang hidup di bawah garis kemiskinan.

Gaji bulanan rata-rata telah turun di bawah $100, mendorong jutaan orang ke dalam kesulitan ekonomi.

Dilansir NW, Sina Azodi , Dosen Hubungan Internasional, Universitas George Washington mengatakan, situasi ini membuat pemerintah Iran saat ini dalam posisi terjepit.

 "Saya pikir pemerintahan Pezeshkian berada di bawah tekanan internal dan eksternal yang luar biasa. Secara internal, devaluasi rial dan melonjaknya tingkat inflasi mengancam seluruh masa jabatannya dan tanpa keringanan sanksi, tidak akan ada yang berubah. Secara eksternal, ia juga menghadapi tekanan dari berbagai pihak," katanya.

Ahmad Alamolhoda, Imam Mashhad menyatakan : "Berunding dengan Amerika bertentangan dengan kebanggaan nasional kita."

Di sisi lain, Presiden AS, Donald Trump berkata: "Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir, dan jika perundingan tidak berhasil, saya rasa ini akan menjadi hari yang sangat buruk bagi Iran."

Ancaman perang dari AS ini menjadi faktor penekan luar biasa di Iran.

"Dengan perundingan yang akan diadakan pada hari Sabtu di Oman, para pemimpin Iran harus mengatasi perbedaan pendapat internal sambil menghadapi pemerintah AS yang diperkirakan akan menuntut konsesi nuklir yang signifikan. Hasilnya dapat membentuk kembali kontur geopolitik wilayah tersebut selama beberapa bulan mendatang," tutup ulasan NW dalam laporannya.

 

(oln/nw/*)

 
 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan