Konflik Korea
Korea Utara Tutup Pintu Dialog, Upaya Damai Presiden Baru Korsel Ditolak
Korea Utara secara terbuka menolak tawaran dialog dari Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung.
Penulis:
Farrah Putri Affifah
Editor:
Tiara Shelavie
Perbedaan sistem politik, komunisme totaliter di Utara dan demokrasi kapitalis di Selatan, semakin memperdalam jurang pemisah.
Era Dialog (1990–2000-an)
Harapan rekonsiliasi mulai tumbuh pada awal 1990-an.
Kedua Korea menandatangani perjanjian non-agresi pada 1991 dan melakukan KTT bersejarah tahun 2000 antara Kim Dae-jung (Presiden Korea Selatan) dan Kim Jong-il (pemimpin Korea Utara).
Ini adalah pertemuan pertama sejak perang berakhir. Dikenal sebagai “Sunshine Policy”, kebijakan dialog dan bantuan ekonomi Korea Selatan bertujuan membuka pintu persaudaraan kembali.
Namun, harapan ini memudar dengan meningkatnya ambisi nuklir Korea Utara.
Uji coba nuklir pertama pada 2006 membuat dunia, termasuk Korea Selatan, waspada.
Meskipun beberapa KTT kembali digelar pada era Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong Un antara 2018–2019, hasil konkret dari pertemuan tersebut minim.
Hubungan Memburuk Kembali
Seiring berjalannya waktu, hubungan kedua negara kembali memburuk.
Korea Utara melanjutkan program nuklir dan misil balistiknya.
Sementara itu, di Korea Selatan terjadi pergantian pemerintahan yang kadang memperlunak, kadang memperkeras pendekatan terhadap Pyongyang.
Pada tahun 2025, ketegangan tetap tinggi.
Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung, mencoba membuka jalur diplomasi tanpa prasyarat.
Namun, Korea Utara melalui Kim Yo Jong, adik Kim Jong Un, menolak segala bentuk dialog.
Sikap ini mencerminkan ketidakpercayaan mendalam dan ketegangan struktural yang masih mengakar.
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Korea Utara dan Korea Selatan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.