Jumat, 26 September 2025

Moeldoko di Jepang: Saatnya Politik Kasih Sayang Hadir dalam Resolusi Konflik Global

Moeldoko juga menyinggung sosok Iehiro Tokugawa, keturunan langsung dari keluarga Shogun Jepang

Editor: Eko Sutriyanto
ist
POLITIK KASIH SAYANG - Jenderal (Pur) Moeldoko (Jas putih) jadi pembicara seminar The Era of The Shogun di Jepang kemarin. Moeldoko sebut, dunia saat ini tengah menghadapi dinamika geopolitik yang kompleks dan berubah cepat—ditandai oleh perebutan sumber daya alam, sengketa batas wilayah, dan pertarungan akses strategis 

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Mantan Kepala Staf Kepresidenan RI Jenderal (Purn) Moeldoko kembali menegaskan pentingnya pendekatan baru dalam menghadapi konflik global yang memadukan dimensi geopolitik, nilai-nilai budaya, dan semangat kemanusiaan. 

Moeldoko sebut, dunia saat ini tengah menghadapi dinamika geopolitik yang kompleks dan berubah cepat—ditandai oleh perebutan sumber daya alam, sengketa batas wilayah, dan pertarungan akses strategis. 

Ia menyebut bahwa konflik kini tidak hanya menyentuh ranah militer, tapi juga politik dan ekonomi.

"Geopolitik yang berubah cepat berdampak pada terganggunya rasa damai, hilangnya rasa aman, bahkan hilangnya harga diri bagi yang kalah," ujar Moeldoko saat seminar bertema The Era of The Shogun yang digelar di Osaka, Jepang, Kamis (31/8/2025).

Karena itu resolusi konflik, menurutnya, harus melibatkan banyak pihak—baik negara maupun non-negara, aktor domestik maupun internasional dan harus mempertimbangkan nilai-nilai yang lebih dalam dari sekadar kepentingan politik.

Dalam forum tersebut, Moeldoko juga menyinggung sosok Iehiro Tokugawa, keturunan langsung dari keluarga Shogun Jepang, yang menurutnya masih memainkan peran penting sebagai simbol budaya dan rekonsiliasi.

Baca juga: Nilai Impor RI hingga Juni Capai 115,94 Miliar Dolar AS, Naik 5,25 Persen

“Saya percaya, sebagai seorang Shogun, Iehiro Tokugawa-San adalah aktor penting dalam resolusi konflik. Budaya bisa menjadi jembatan diplomasi yang damai dan berkelanjutan,” ujarnya.

Meski telah purnatugas sebagai Panglima TNI, Moeldoko menyebut dirinya masih aktif dalam upaya perdamaian melalui jalur non-formal bersama tokoh-tokoh seperti Sakura-San dan Tovic-San dari Sakuranesia—komunitas penggiat diplomasi budaya antara Jepang dan Indonesia.

“Sebagai prajurit, saya tidak pernah benar-benar selesai. Old soldier never die,” tegasnya.

Nilai-Nilai Lokal dan Semangat Bushido

Moeldoko juga menekankan bahwa Indonesia memiliki warisan nilai yang serupa dengan Bushido Jepang—ajaran kehormatan para samurai.

Ia menyebut pepatah kuno Jawa, Tata Titi Duduga Peryoga, yang mengajarkan pentingnya kehormatan, kesetiaan, keberanian, ketelitian, hingga kebijaksanaan dalam bertindak.

Nilai-nilai inilah, menurut Moeldoko, yang harus menjadi fondasi perdamaian dan pembangunan manusia bermartabat.

Mengangkat tema yang lebih personal dan humanistik, Moeldoko kemudian memperkenalkan konsep Politik Kasih Sayang yakni cara memandang kepemimpinan dan kekuasaan dengan pendekatan empati, perlindungan, dan penghargaan atas martabat manusia.

“Setiap anak dilahirkan dengan potensi untuk merasa utuh: damai dalam dirinya, aman di sekitarnya, dan bangga menjadi dirinya sendiri. Tapi ketiga hal itu tidak tumbuh sendiri. Ia butuh kasih sayang dan lingkungan yang peduli,” tutur Moeldoko.

Dalam paparannya, ia membagi konsep ini menjadi tiga pondasi utama yakni Rasa Damai – Ditanam melalui penerimaan dan kemampuan mengenali perasaan;  Rasa Aman – Tumbuh dari kehadiran yang konsisten dan hubungan yang saling percaya dan Harga Diri – Terbentuk dari pengalaman dicintai tanpa syarat dan dihargai sebagai individu unik.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan