CSIS dan CfDS Gelar IRIS 2025, Bahas Risiko dan Peluang GenAI di Asia-Pasifik
GenAI menghadirkan peluang besar, namun sekaligus menyimpan risiko serius memperbesar arus misinformasi yang dapat mengancam demokrasi.
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
Editor:
Willem Jonata
Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM - Terbukanya akses terhadap teknologi Generative Artificial Intelligence (GenAI) menandai babak baru bagi umat manusia.
Demokratisasi AI menghadirkan peluang besar, namun sekaligus menyimpan risiko serius, mulai dari penyebaran misinformasi, penipuan daring yang merugikan ekonomi digital, hingga manipulasi informasi asing yang berpotensi memengaruhi dinamika geopolitik kawasan Asia-Pasifik.
Laporan Safer Internet Lab (SAIL) menyoroti potensi GenAI dalam memperbesar arus misinformasi yang dapat mengancam demokrasi.
Baca juga: Pemerintah Kucurkan Rp 335 T untuk MBG Pada 2026, Ini Kritik dari CSIS
Hal senada juga diungkap oleh Center for Digital Society (CfDS), yang menekankan bahaya penggunaan AI dalam kontestasi politik, termasuk Pemilu 2024.
Menjawab tantangan tersebut, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melalui SAIL bersama CfDS menyelenggarakan Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) 2025, forum akademik dan kebijakan internasional yang digelar pada Kamis, 21 Agustus 2025 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM).
Simposium ini bertujuan merumuskan strategi kawasan Asia-Pasifik dalam menghadapi gelombang inovasi teknologi sekaligus menjaga ketahanan ruang digital.
Acara dibuka oleh Prof. Wening Udasmoro, Wakil Rektor UGM, yang menekankan pentingnya peran akademisi dalam menjembatani penelitian, kebijakan, dan pemahaman publik terkait GenAI.
Dr. Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif CSIS, kemudian memaparkan peluang sekaligus risiko GenAI bagi Asia-Pasifik.
Sementara itu, Meutya Viada Hafid, Menteri Komunikasi dan Urusan Digital (Komdigi) Indonesia, menyampaikan pidato kunci mengenai kesiapan Indonesia dalam merumuskan kebijakan menghadapi tantangan teknologi ini.
Agenda berlanjut dengan kuliah umum oleh Prof. Ang Peng Hwa dari Nanyang Technological University, Singapura, yang mengulas pentingnya kerja sama regional untuk memperkuat resiliensi informasi.
Sesi strategic dialogue menghadirkan Wijaya Kusumawardhana, Staf Ahli Menteri Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya Komdigi, Dr. Maria Monica Wihardja, Visiting Fellow dan Co-Coordinator Media, Technology and Society Programme ISEAS–Yusof Ishak Institute, dengan moderator Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti.
Dalam pidatonya, Dr. Yose Rizal Damuri menekankan bahwa risiko GenAI mencakup penipuan finansial, manipulasi informasi asing, hingga ancaman privasi dan integritas demokrasi.
Karena itu, CSIS melalui SAIL menghadirkan IRIS sebagai wadah lintas sektor yang menghubungkan kajian akademis dengan kebijakan, agar tercipta rekomendasi berbasis data yang dapat memperkuat ketahanan digital kawasan.
Seputar CfDS dan CSIS
Center for Digital Society (CfDS) adalah pusat kajian yang berada di bawah naungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), didirikan pada tahun 2015 di Yogyakarta.
Lembaga ini lahir dari keprihatinan terhadap dampak besar teknologi informasi terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. CfDS berkomitmen untuk menjadi ruang akademik dan publik yang mendorong pemahaman kritis tentang fenomena digital serta menyusun solusi berbasis riset untuk tantangan zaman.
Fokus utama CfDS mencakup isu-isu seperti pemerintahan digital, keamanan siber, literasi digital, dan dampak teknologi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.
Mereka aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti seminar, pelatihan, dan publikasi ilmiah yang bertujuan membangun masyarakat digital yang produktif, inovatif, dan berpengaruh.
Salah satu inisiatif unggulan mereka adalah Digital Intelligence Lab, yang memanfaatkan data dan metode digital untuk menyelesaikan persoalan sosial secara konkret.
Selain itu, CfDS juga menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk lembaga pemerintah, organisasi internasional, dan komunitas lokal. Mereka percaya bahwa transformasi digital harus melibatkan semua pemangku kepentingan secara inklusif dan berkelanjutan.
Dengan pendekatan interdisipliner dan berbasis bukti, CfDS berupaya menjembatani kesenjangan antara teknologi dan kemanusiaan, serta mendorong kebijakan publik yang adaptif terhadap era digital.
Adapun CSIS, atau Centre for Strategic and International Studies, adalah lembaga think tank independen yang berbasis di Jakarta, Indonesia.
Didirikan pada 1 September 1971 oleh sekelompok intelektual termasuk Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Hadi Soesastro, dan Clara Joewono, CSIS bertujuan untuk mendorong diskusi kebijakan publik yang berbasis riset dan analisis strategis.
Lembaga ini lahir dari kebutuhan akan ruang kajian yang mampu menjembatani antara dunia akademik dan pengambilan kebijakan nasional.
Fokus utama CSIS mencakup isu-isu strategis seperti politik luar negeri, ekonomi, keamanan regional, dan pembangunan sosial.
Mereka aktif melakukan penelitian, menerbitkan jurnal seperti Indonesian Quarterly dan Analisis CSIS, serta menyelenggarakan seminar dan diskusi publik yang melibatkan pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat sipil.
Dengan pendekatan interdisipliner, CSIS berupaya memberikan masukan yang relevan dan objektif bagi pemerintah maupun sektor swasta.
CSIS juga dikenal sebagai mitra dalam kerja sama internasional.
Mereka menjadi tuan rumah bagi Komite Nasional Indonesia untuk Kerja Sama Ekonomi Pasifik (INCPEC) dan turut mendirikan Council for Asia-Europe Cooperation (CAEC).
CSIS: Proses Pembahasan RUU TNI Tak Sesuai Standar, DPR dan Pemerintah Ugal-ugalan |
![]() |
---|
CSIS: Dominasi PDIP dan Golkar di Pilkada Memudar, Gerindra Meningkat Tajam |
![]() |
---|
CSIS: Incumbent Tak Jamin Kemenangan di Pilkada 2024 |
![]() |
---|
Pergeseran Peta Politik Pascapilkada, Kemenangan Gerindra Hingga Migrasi Elite Parpol Jadi Faktornya |
![]() |
---|
Serangan ke Pengguna Seluler Berbasis GenAI Makin Canggih, Modus Rekayasa Sosial Kian Personal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.