Jumat, 12 September 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Media Israel Mulai Memberontak ke Pemerintahnya Setelah Lama Menutupi Penderitaan Gaza

perubahan sikap media Israel ini dinilai mencerminkan perpecahan yang mendalam mengenai apakah invasi militer IDF ke Gaza harus dihentikan.

MNA
PERANG GENOSIDA - Seorang warga Palestina berjalan di jalanan berdebu dengan latar belakang kehancuran Gaza karena bombardemen buta Israel selama satu tahun sejak 7 Oktober 2023. Selama dua tahun konflik, Israel dianggap melancarkan perang Genosida di Gaza. 

Media Israel Mulai Memberontak ke Pemerintahnya Setelah Lama Menutupi Penderitaan Gaza

TRIBUNNEWS.COM - Selama dua tahun terakhir, sejak perang Gaza pecah, stasiun-stasiun televisi di Israel sangat kurang memberi perhatian pada penderitaan warga Palestina di Gaza.

Alih-alih begitu, media Israel menerus menyajikan kepada pemirsa mereka cerita-cerita yang menonjolkan kisah heroik dan kepahlawanan Israel, penderitaan keluarga para sandera, dan gugurnya prajurit (IDF) dalam pertempuran.

Namun, hal itu kini berubah. 

Baca juga: Tiga Petempur Palestina Serbu Hanggar Tank Israel, Lempar Bom ke Palka, Komandan IDF Tewas

TRT melaporkan, dikutip Selasa (9/9/2025) kalau dalam beberapa bulan terakhir, beberapa stasiun televisi Israel mulai membagikan gambar-gambar mengerikan anak-anak yang kekurangan gizi dan beberapa kisah yang diliput secara luas tentang kesulitan hidup sehari-hari warga Palestina.

"Perubahan halus ini terjadi saat Israel menghadapi kemarahan global yang belum pernah terjadi sebelumnya atas perang genosida yang sedang dilakukan Israel di Gaza," tulis laporan itu.

Hal yang paling krusial, perubahan sikap media Israel ini dinilai mencerminkan perpecahan yang mendalam mengenai apakah invasi militer IDF ke Gaza harus dihentikan.

Perubahan haluan ini dianggap sebagai 'pemberontakan' meskipun protes yang semakin meningkat dan liputan media hanya berdampak kecil terhadap kebijakan Pemerintah Israel.

"Bukan hanya peduli terhadap situasi di Gaza, tetapi juga dari perspektif Israel, apakah kita bertindak dengan benar dan sesuai dengan tujuan perang ini?" kata Eran Amsalem, profesor komunikasi di Universitas Ibrani Israel.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara umum cenderung mengabaikan gerakan massa yang menyerukan diakhirinya perang yang difokuskan pada pengembalian para sandera.

Setelah serangan Hamas Banjir Al Aqsa pada 7 Oktober 2023 dan pertempuran regional selama dua tahun, pemberitaan yang memojokkan warga Palestina bahkan semakin berkurang daya tariknya.

Serangan kilat pasukan perlawanan Palestina yang dipimpin Hamas mengejutkan Israel.

Sekitar 1.200 warga Israel tewas dalam serangan itu. Dari 251 orang yang disandera, 48 orang masih berada di Gaza — sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup — setelah sebagian besar lainnya dibebaskan melalui gencatan senjata atau kesepakatan lainnya.

Serangan ini dianggap sebagai serangan terburuk yang pernah terjadi di wilayah Israel dan masih mendominasi siaran berita lokal.

Pada bulan-bulan awal, warga Israel mendukung narasi Israel setelah apa yang disebut sebagian orang sebagai 9/11 mereka, sementara media internasional segera mengalihkan fokus ke invasi mematikan IDF di Gaza.

Israel telah membunuh lebih dari 64.300 warga Palestina di Gaza sejak Oktober 2023.

Serangan genosida tersebut telah menghancurkan wilayah kantong Palestina tersebut, yang terancam kelaparan, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Kementerian tersebut merupakan bagian dari pemerintahan yang dipimpin Hamas dan dikelola oleh para profesional medis.

Angka-angkanya dianggap andal oleh badan-badan PBB dan banyak pakar independen.

Israel membantah angka-angka tersebut tetapi belum memberikan datanya sendiri.

"Selama sebagian besar perang, media Israel sangat sedikit melaporkan penderitaan di Gaza, kelaparan, atau kehancuran," kata Raviv Drucker, seorang pembawa berita terkemuka Israel.

"Kalaupun mereka melaporkannya, itu hanya dari perspektif Israel," jelasnya, dalam hal seberapa efektif media Israel dalam "menghancurkan Hamas".

DIBUNUH ISRAEL - Foto file yang menunjukkan para pelayat menghadiri pemakaman anggota pers yang tewas dalam serangan Israel, di Rumah Sakit al-Awda di kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza tengah, pada 26 Desember 2024.
 (Photo by Eyad BABA / AFP)
DIBUNUH ISRAEL - Foto file yang menunjukkan para pelayat menghadiri pemakaman anggota pers yang tewas dalam serangan Israel, di Rumah Sakit al-Awda di kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza tengah, pada 26 Desember 2024. (Photo by Eyad BABA / AFP) (AFP/EYAD BABA)

Tak Ada Jurnalis dari Luar, Jurnalis Gaza Adalah 'Anggota Hamas'

Israel telah melarang wartawan internasional dari Gaza sejak dimulainya perang, di luar kunjungan yang diselenggarakan oleh militer.

Komite Perlindungan Jurnalis yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) mengatakan ini adalah zona perang paling mematikan bagi wartawan yang pernah didokumentasikan kelompok tersebut.

Setidaknya 249 wartawan tewas dalam tembakan gencar Israel.

"Ini perang yang aneh, karena ini abad ke-21, dan semua orang punya ponsel untuk menyiarkan," kata Drucker.

"Tapi tidak ada seorang pun di lapangan, jadi kita tidak bisa bilang, 'Ada seseorang di lapangan yang saya percaya.'"

Beberapa penyiar berita Israel yang menyoroti bencana kemanusiaan justru menghadapi reaksi keras dari kalangan mereka sendiri.

Yonit Levi, seorang pembawa berita terkemuka Israel, membuat komentar yang tidak biasa dalam sebuah laporan pada bulan Juli tentang liputan media internasional tentang kelaparan tersebut.

"Mungkin sudah waktunya untuk memahami bahwa ini bukan kegagalan diplomasi publik, melainkan kegagalan moral, dan untuk memulai dari sana," ujarnya.

Levi, yang menolak berbicara kepada The Associated Press , disebut sebagai "juru bicara Hamas" oleh seorang analis di Channel 14 yang pro-Netanyahu, dan seorang aktivis sayap kanan menuduhnya "meludahi wajah tentara Israel."

Komentator dari media sayap kanan, termasuk Channel 14 , secara teratur mendukung pembunuhan warga Palestina dan pembongkaran rumah mereka.

Media ini juga kerap menarasikan kalau tidak ada warga sipil tak berdosa di Gaza dan bahwa militer Israel harus bertindak dengan kekuatan yang lebih besar.

Zvi Yehezkeli, koresponden urusan Arab untuk i24 TV Israel, bahkan menyambut baik tewasnya lima jurnalis dalam serangan Israel di sebuah rumah sakit pekan lalu, menuduh mereka—tanpa bukti—bekerja sama dengan Hamas untuk menyebarkan berita palsu yang merugikan Israel.

"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," ujarnya.

Militer Israel mengatakan tidak ada satu pun jurnalis, termasuk Mariam Dagga, yang bekerja untuk AP dan penerbitan lainnya, yang dicurigai sebagai anggota Hamas, dan militer Israel membantah telah menargetkan mereka.

Warga Palestina memeriksa kehancuran yang disebabkan oleh serangan Israel terhadap rumah mereka di desa Khuzaa, dekat Abasan sebelah timur Khan Yunis dekat pagar perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza selatan pada 27 November 2023, di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Warga Palestina memeriksa kehancuran yang disebabkan oleh serangan Israel terhadap rumah mereka di desa Khuzaa, dekat Abasan sebelah timur Khan Yunis dekat pagar perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza selatan pada 27 November 2023, di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas. (KATA KHATIB/AFP)

Tanda-tanda Perubahan

Meski demikian, liputan media Israel sedikit bergeser dalam beberapa minggu terakhir, beberapa cerita yang lebih panjang tentang warga Palestina muncul di media-media besar Israel.

Jurnalis Israel telah memberikan lebih banyak waktu tayang pada krisis kelaparan yang sebagian dipicu oleh larangan Israel selama 2 1/2 bulan atas semua bantuan kemanusiaan — termasuk makanan dan obat-obatan — awal tahun ini.

Program berita TV arus utama kini menayangkan beberapa wawancara dengan warga Palestina di Gaza.

Namun, liputan berita tersebut masih jauh lebih sedikit daripada fokus pada isu-isu domestik.

Nir Hasson dan rekan-rekannya di surat kabar Haaretz yang berhaluan kiri di Israel telah banyak melaporkan tentang Palestina, baik sebelum maupun selama perang, dalam artikel-artikel yang seringkali mengkritik tindakan Israel.

Namun, hal ini merupakan anomali dalam lanskap media saat ini.

“Setelah 7 Oktober, tidak diragukan lagi ada sesuatu yang rusak, dan menjadi sepenuhnya tidak sah untuk menanggung penderitaan pihak lain,” kata Hasson.

"Tapi saya pikir publik Israel lebih dewasa daripada yang media kira," tambahnya.

"Saya pikir publik punya kemampuan untuk mendengarkan. Saya pikir media terlalu banyak menyensor diri sendiri."

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan