Korea Utara Eksekusi Warganya karena Menonton K-Drama, Menurut Laporan PBB
PBB meluncurkan laporan terbaru mengenai kondisi di Korea Utara 1 dekade: kontrol ketat, tidak ada kebebasan berekspresi, konten asing dilarang.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Sri Juliati
Seorang pembelot mengatakan kepada peneliti bahwa pengawasan ketat bertujuan untuk “menutup mata dan telinga” masyarakat.
“Itu adalah bentuk kontrol yang dimaksudkan untuk menghapus sekecil apa pun tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan,” ujarnya.
Akses internet bagi masyarakat nyaris tidak ada.
Pemerintah hanya menyediakan “intranet nasional yang sangat dikontrol,” yang terutama digunakan lembaga penelitian dan pejabat negara.
Menurut laporan PBB, undang-undang baru mengkriminalisasi akses ke informasi asing tanpa izin dan melarang konsumsi maupun penyebaran informasi, termasuk publikasi, musik, dan film dari negara-negara ‘musuh’.
Bahkan penggunaan ekspresi bahasa yang tidak sesuai dengan ideologi sosialis pun dilarang.
Undang-undang itu menjatuhkan hukuman berat, termasuk hukuman mati, sehingga menimbulkan kekhawatiran serius terkait kebebasan berekspresi, tulis laporan tersebut.
Meski begitu, laporan menyatakan warga Korea Utara tetap mengonsumsi informasi terlarang meski risikonya semakin besar.
Tahun lalu, seorang warga berusia 22 tahun dieksekusi di depan umum karena mendengarkan dan membagikan musik K-pop serta drama Korea Selatan (K-Drama), menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, dikutip Independent.
“Kami memiliki bukti kredibel bahwa beberapa individu dieksekusi, bukan hanya karena menonton drama Korea, melainkan karena menyebarkan media asing pada tingkat tertentu,” kata juru bicara OHCHR, Liz Throssell, Jumat.
Eksploitasi Tenaga Kerja
Baca juga: Kremlin Tepis Tuduhan Trump soal Aliansi Rusia, China, dan Korea Utara
Laporan itu juga menyoroti tenaga kerja yang disebut “brigade kejut” yang dibentuk otoritas Pyongyang.
Ribuan anak yatim dan anak jalanan dipaksa bekerja di tambang batu bara dan lokasi lain, sehingga terpapar bahan berbahaya dan jam kerja panjang.
“Pemerintah menyebutnya sebagai kurikulum untuk mengajarkan keterampilan hidup. Namun, informasi yang kami dapatkan selama bertahun-tahun menunjukkan program ini memenuhi unsur kerja paksa karena anak-anak tidak memiliki pilihan,” kata James Heenan, kepala kantor OHCHR untuk Korea Utara.
Kematian di kamp-kamp kerja paksa dilaporkan sering terjadi, tetapi justru dipuja di depan umum sebagai bentuk pengorbanan bagi pemimpin, menurut laporan tersebut.
Para pembelot juga melaporkan bahwa sejak 2020, eksekusi publik semakin marak, tidak hanya terkait distribusi media ilegal, tetapi juga narkoba, kejahatan ekonomi, prostitusi, pornografi, perdagangan manusia, hingga pembunuhan.
Sumber: TribunSolo.com
Drama Korea Tempest Resmi Tayang di Disney Plus, Dibintangi Jun Ji-hyun dan Kang Dong-won |
![]() |
---|
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Diprediksi Naik di 2026 Akibat Pemangkasan Anggaran Transfer ke Daerah |
![]() |
---|
Sinopsis Surely Tomorrow, Drama Korea Romantis Dibintangi Park Seo Joon dan Won Ji An |
![]() |
---|
Belajar Menyuarakan Pendapat ala Siswa Cermat |
![]() |
---|
6 Fakta Keamanan Ekstrem Kim Jong Un: Bawa Toilet Pribadi demi Cegah DNA-nya Dicuri Intel Asing |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.