Selasa, 16 September 2025

Kerusuhan di Nepal

Pakar India Curigai Keterlibatan Amerika pada Demo Penggulingan Rezim di Nepal: Awalnya Tampak Alami

Baik di Nepal, Bangladesh, Sri Lanka dan Arab Spring, semua kasus dimulai dari keluhan rakyat yang sah: korupsi dan krisis ekonomi.

Tangkapan layar X/@chandangoopta
MURNI ATAU INTERVENSI - Demonstrasi di Nepal, sejumlah gedung dibakar termasuk gedung Parlemen Nepal. Nepal menjadi negara Asia Selatan ketiga, setelah Sri Lanka pada tahun 2022 dan Bangladesh tahun lalu, di mana protes massa berakhir dengan penggulingan pemerintahan yang berkuasa. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nepal menjadi negara Asia Selatan ketiga, setelah Sri Lanka pada tahun 2022 dan Bangladesh tahun lalu, di mana protes massa berakhir dengan penggulingan pemerintahan yang berkuasa.

Sputnik adalah media berita internasional dari Rusia yang menuding ada campur tangan Deep State Amerika Serikat dalam unjuk rasa di tiga negara Asia Selatan tersebut.

Istilah “Deep State AS” merujuk pada dugaan adanya jaringan kekuasaan tersembunyi di dalam struktur pemerintahan Amerika Serikat yang bekerja di luar kendali resmi lembaga demokratis, seperti Kongres atau Presiden. 

Konsep ini sering digunakan dalam wacana politik dan teori konspirasi untuk menjelaskan pengaruh kelompok tertentu yang dianggap mengendalikan kebijakan negara secara diam-diam.

Pihak-pihak yang kerap dikaitkan dengan Deep State AS, biasanya adalah birokrasi permanen, mulai dari pegawai negeri sipil, intelijen, dan militer yang tetap berpengaruh meski pemerintahan berganti.

Kolumnis Sputnik, Dhairya Maheshwari, yang juga analis kebijakan luar negeri asal India yang dikenal karena liputannya tentang isu-isu geopolitik di kawasan Asia Selatan, mengatakan, dugaan keterlibatan Deep State AS dalam aksi protes di Nepal, tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

"Memang sulit untuk membuktikannya secara kasat mata. Protes Gen-Z di Nepal mungkin tampak alami, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, jejak Deep State AS sulit diabaikan. Larangan mendadak terhadap 26 platform media sosial menjadi pemicu, tetapi skala, kecepatan, dan pengelolaan narasi protes ini menunjukkan adanya orkestrasi eksternal," tulisnya.

Sementara Savio Rodrigues, mantan juru bicara unit Goa dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India, kepada Sputnik India, mencurigai Deep State AS memiliki pola untuk mengeksploitasi kemarahan anak muda yang tulus, memperkuatnya melalui jaringan rahasia, dan mengarahkannya untuk mengganggu stabilitas pemerintahan yang tidak sejalan dengan kepentingan strategis mereka.

"Bagi India, implikasinya serius. Nepal bukan sekadar tetangga; mereka adalah mitra peradaban. Ketidakstabilan apa pun di sana berdampak langsung pada keamanan, perdagangan, dan keharmonisan sosial kami di perbatasan terbuka. Nepal yang tidak stabil menciptakan lahan subur bagi kekuatan anti-India, misalnya, campur tangan Barat melalui LSM dan lembaga pemikir," ujarnya.

Mirip dengan Arab Spring?

Gelombang unjuk rasa di berbagai negara, termasuk Nepal (dan Indonesia) kemudian dibandingkan dengan gelombang protes pro-demokrasi sebelumnya di dunia Arab. 

Sebelum Nepal, demonstrasi terjadi di Indonesia, Bangladesh, dan Sri Lanka, yang juga menarik perhatian global.

Sepertinya halnya Arab Spring, media sosial, memainkan peran penting dalam agitasi di Asia. 

Arab Spring adalah gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi di berbagai negara Arab mulai akhir tahun 2010 hingga sekitar 2012, yang kemudian menumbangkan rezim otoriter.

Dalam kasus Nepal, para demonstran Gen Z sendiri, yang sangat mengakar di platform daring, mendorong momentum untuk membentuk pemerintahan baru di mana larangan terhadap aplikasi media sosial lah yang bertindak sebagai pemicu protes di Nepal.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan