Sabtu, 20 September 2025

Kerusuhan di Nepal

Pakar India Curigai Keterlibatan Amerika pada Demo Penggulingan Rezim di Nepal: Awalnya Tampak Alami

Baik di Nepal, Bangladesh, Sri Lanka dan Arab Spring, semua kasus dimulai dari keluhan rakyat yang sah: korupsi dan krisis ekonomi.

Tangkapan layar X/@chandangoopta
MURNI ATAU INTERVENSI - Demonstrasi di Nepal, sejumlah gedung dibakar termasuk gedung Parlemen Nepal. Nepal menjadi negara Asia Selatan ketiga, setelah Sri Lanka pada tahun 2022 dan Bangladesh tahun lalu, di mana protes massa berakhir dengan penggulingan pemerintahan yang berkuasa. 

Mereka yang meyakini ada kesamaan, mengaku melihat ada pola yang terulang: Destabilisasi Terstruktur.

Baik di Nepal, Bangladesh, Sri Lanka dan Arab Spring, semua kasus dimulai dari keluhan rakyat yang sah: korupsi, krisis ekonomi, atau pelanggaran hak. 

Namun, keluhan ini kemudian dimanipulasi oleh aktor politik dan asing untuk menggulingkan pemerintahan yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Di Nepal dan Sri Lanka, media sosial menjadi alat utama mobilisasi. 

Di Bangladesh dan Arab Spring, media internasional dan LSM memainkan peran penting dalam membentuk opini global dan memberi legitimasi pada gerakan.

Militer sebagai Penentu Stabilitas Peran militer menjadi pembeda utama:

  • Di Nepal, militer bertindak cepat dan mencegah kehancuran.
  • Di Bangladesh, militer pasif dan dituduh membiarkan kudeta.
  • Di Sri Lanka, militer menjaga ketertiban tetapi tidak mengambil alih.
  • Di Mesir, militer justru memimpin kudeta terhadap Presiden Morsi.

Dana dari Amerika

Amerika Serikat (AS) diduga mendanai demo Nepal yang berujung ricuh dan jatuhnya kepemimpinan Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli, menurut laporan The Sunday Guardian.

Melansir The Sunday Guardian pada Minggu (14/9/2025), dugaan itu muncul dengan Washington menyalurkan dana lebih dari 900 juta dollar AS (sekitar Rp 14,7 triliun) untuk berbagai program politik dan sipil di negara Himalaya tersebut.

Dokumen internal Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) yang dikutip The Sunday Guardian menyebut penyaluran dana AS sebesar Rp 14,7 triliun berlangsung sejak 2020. Skala investasi itu dinilai tidak lazim untuk negara sebesar Nepal.

Puncak ketidakpuasan

Berbeda dengan para analis di atas, Nabraj Lama, yang menjabat sebagai Direktur Penelitian dan Pengembangan di lembaga pemikir Himalayan Strategic Institute yang berbasis di Kathmandu, justru yakin bahwa tidak ada bukti substantif yang menunjukkan bahwa protes tersebut didalangi oleh kekuatan eksternal seperti yang disebut 'Deep State AS'. 

"Solidaritas yang diungkapkan oleh anggota diaspora Nepal—terutama di AS—sebagian besar bersifat emosional dan moral. Gerakan ini, pada intinya, merupakan luapan organik dari frustrasi publik, yang lahir dari keluhan domestik dan tuntutan akuntabilitas lintas generasi," ujarnya.

"Pengunduran diri Perdana Menteri Oli ini di tengah protes yang meluas di Nepal harus dipahami bukan sebagai konsekuensi manipulasi eksternal, melainkan sebagai puncak dari ketidakpuasan internal yang mengakar," katanya.

"Bertentangan dengan beberapa penggambaran media, pemicunya bukan hanya larangan pemerintah terhadap platform media sosial utama, melainkan protes publik terhadap korupsi yang telah lama berlangsung dan sistemik. Upaya untuk menekan platform digital hanya bertindak sebagai pemicu di lingkungan yang sudah bergejolak," ujar Lama.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan