Konflik Palestina Vs Israel
Mesir Latih Pasukan Keamanan Palestina, Rekrut 10.000 Anggota di Akademi Militer
Mesir telah melatih pasukan keamanan Palestina sejak berbulan-bulan lalu. Bersama Yordania, mereka merekrut 10.000 anggota PA dari Tepi Barat.
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Mesir, Mostafa Madbouly, menghadiri pertemuan internasional di markas besar PBB di New York pada Rabu (24/9/2025).
Pertemuan ini digelar di sela-sela Sidang Umum PBB ke-80 dan Konferensi Solusi Dua Negara.
Madbouly hadir sebagai ketua delegasi tingkat tinggi mewakili Presiden Abdel Fattah El-Sisi, bersama Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, Menteri Luar Negeri Mesir Abdel Aati Badr, serta sejumlah pejabat Arab dan asing.
Dalam pidatonya, Madbouly menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron atas undangan menghadiri pertemuan tersebut.
Ia juga memuji langkah bersejarah Prancis yang baru saja mengakui Negara Palestina.
Madbouly menegaskan bahwa hanya lembaga resmi Palestina yang berhak memegang senjata.
"Kami mendukung adanya jaminan keamanan bagi pihak Palestina dan Israel, melalui dukungan internasional. Hal ini tentu saja berlaku untuk ketiadaan peran Hamas, atau faksi Palestina lainnya, dalam memerintah Jalur Gaza. Sebaliknya, semua faksi bersenjata harus menyerahkan senjata mereka kepada otoritas yang sah, yaitu Otoritas Palestina," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa konflik Palestina tidak bisa hanya dilihat dari sisi keamanan, melainkan harus diselesaikan lewat solusi politik yang adil dan berkelanjutan.
Untuk itu, Mesir telah memulai program pelatihan bagi pasukan keamanan Palestina.
"Mesir telah memulai prosedur untuk melatih pasukan keamanan Palestina, dan kami siap untuk memperluas ini dengan dukungan masyarakat internasional," kata Madbouly.
Lebih jauh, ia menegaskan kesiapan Mesir untuk mendukung pembentukan pemerintahan Palestina dan mengembalikan Otoritas Palestina ke Jalur Gaza.
Baca juga: Janji Trump ke Pemimpin Arab: AS Akan Larang Israel Caplok Tepi Barat
Ia juga menekankan dukungan Mesir terhadap kerangka yang diajukan Amerika Serikat dan disepakati Israel terkait pembentukan negara Palestina, meski menurutnya detail teknis misi internasional hanya bisa dibahas setelah ada kesepakatan politik.
Madbouly menutup pidatonya dengan menegaskan kembali dukungan Mesir terhadap solusi dua negara dengan Palestina di perbatasan 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Ia menolak keras upaya penggusuran rakyat Palestina dan menekankan pentingnya gencatan senjata segera, pemberian bantuan kemanusiaan, serta kesepakatan pertukaran tahanan.
"Di sisi lain, Mesir siap mendukung segala upaya pembentukan misi internasional untuk mendukung pengembalian Otoritas Palestina ke Jalur Gaza dan pembentukan Negara Palestina," tegasnya, lapor Al Jazeera.
Jaminan Keamanan
Perdana Menteri Mesir Mostafa Madbouly menegaskan bahwa hanya lembaga resmi Palestina yang berhak memiliki senjata, sementara kelompok bersenjata seperti Hamas harus menyerahkannya kepada Otoritas Palestina.
Ia menilai pengalaman pelucutan senjata di masa lalu hanya berhasil jika disertai perjanjian politik, bukan semata operasi militer.
Menurutnya, meski Israel sudah menyerang Gaza selama dua tahun, hal itu tidak membuat Hamas hilang atau dilucuti, sehingga, solusi keamanan murni tanpa visi politik dinilai mustahil.
Madbouly mendukung gagasan misi internasional di Gaza yang ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB.
Misi itu harus bertujuan memperkuat peran Otoritas Palestina dan memastikan Gaza tidak dipisahkan dari Tepi Barat.
Ia menekankan perlunya kesepakatan politik yang melibatkan Amerika Serikat, Israel, dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, agar tercipta kerangka jelas untuk mendirikan negara Palestina.
Madbouly juga memperingatkan agar jangan ada pengaturan yang justru memperpanjang konflik, seperti diberitakan Asharq.
Berbulan-bulan Lalu, Mesir Mulai Latih Pasukan Palestina
Pada 28 Agustus lalu, laporan media pers Palestina, IMEMC, menyebutkan Mesir diam-diam mulai melatih personel keamanan Otoritas Palestina (PA) untuk mengambil alih urusan keamanan di Gaza.
Program tersebut direncanakan untuk menyiapkan hingga 10.000 anggota, sebagian besar berasal dari pasukan PA di Tepi Barat.
Kelompok awal telah menjalani kursus pelatihan enam bulan di akademi militer Mesir.
Laporan tersebut mengatakan Mesir berkoordinasi dengan Yordania.
Media Israel Ynet News menyebut bahwa ratusan warga Palestina sudah menjalani pelatihan di akademi militer Mesir sebagai bagian dari rencana keamanan pasca-peperangan.
Para pejabat Arab menilai kendali Hamas di Jalur Gaza harus segera digantikan oleh pasukan Palestina yang bersatu.
Menurut mereka, tanpa kehadiran Otoritas Palestina (PA), Gaza hanya akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu Hamas atau kekacauan.
Penasihat PA, Mahmoud al-Habbash, menyebut masyarakat internasional diharapkan menjadi penyandang dana utama inisiatif ini, dengan tahap awal melibatkan pengerahan sekitar 5.000 personel setelah gencatan senjata tercapai.
Rencana yang digagas Mesir juga memasukkan pembentukan pemerintahan transisi berbentuk komite teknokrat beranggotakan 15 tokoh Palestina.
Komite ini diharapkan menjadi jalan menuju pemulihan penuh otoritas PA di Gaza.
Dalam perekrutan pasukan keamanan, Mesir dengan sengaja mengecualikan individu yang berafiliasi dengan faksi-faksi berseteru, khususnya para loyalis tokoh Palestina yang kini berada di pengasingan, Mahmoud Dahlan.
Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty telah menekankan bahwa setiap pengerahan pasukan harus didukung oleh resolusi Dewan Keamanan PBB dan dilandasi oleh cakrawala politik yang jelas.
"Tanpa cakrawala politik, akan sia-sia mengerahkan pasukan ke sana," ujarnya dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa, pada saat itu.
Mesir berulang kali mendukung upaya pembentukan Negara Palestina yang merdeka di bawah pemerintahan Otoritas Palestina.
Mesir menyatakan dukungan penuh terhadap pernyataan bersama dari 28 negara yang meminta gencatan senjata segera di Gaza, akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, serta mengutuk blokade dan kebijakan yang memperburuk situasi warga sipil.
Sementara itu, Israel menentang upaya Mesir dan negara Arab untuk mewujudkan Negara Palestina.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.