Konflik Palestina Vs Israel
Pejabat Hamas: Kami Akan Hadapi Agresi Israel Jika Pertempuran Terjadi Lagi
Seorang pejabat senior Hamas memperingatkan bahwa kelompoknya siap menghadapi kembali agresi Israel jika pertempuran kembali pecah.
TRIBUNNEWS.COM - Ketegangan di Jalur Gaza belum sepenuhnya mereda, meskipun tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah mulai diberlakukan.
Dalam situasi yang masih rapuh ini, seorang pejabat senior Hamas memperingatkan bahwa kelompoknya siap menghadapi kembali agresi Israel jika pertempuran kembali pecah.
Pernyataan ini mencerminkan sikap tegas Hamas terhadap kelanjutan konflik dan keraguan mereka terhadap usulan perdamaian yang diinisiasi oleh Presiden AS Donald Trump.
"Kami berharap tidak akan kembali berperang, tetapi rakyat Palestina dan pasukan perlawanan niscaya akan menghadapi dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk menangkal agresi ini jika pertempuran ini terpaksa terjadi," ujar anggota biro politik Hossam Badran kepada AFP.
Peringatan ini muncul di tengah negosiasi gencatan senjata yang diperluas, yang berlangsung di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi bersama mantan Presiden AS Donald Trump, yang kembali tampil sebagai inisiator dalam upaya menghentikan perang Israel-Hamas yang telah berlangsung selama dua tahun.
Pada 29 September lalu, Trump merilis proposal perdamaian berisi 20 poin.
Adapun 20 poin tersebut mencakup pembebasan semua sandera Israel yang ditahan Hamas, pertukaran dengan 2.000 tahanan Palestina, penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza, pelucutan senjata Hamas, dan pembentukan pemerintahan baru di Gaza.
Hamas memang menyatakan persetujuan prinsip terhadap tahap pertama rencana tersebut yang saat ini sudah berlaku dan memungkinkan ribuan warga Gaza kembali ke rumah mereka.
Namun, mereka menunjukkan penolakan terhadap bagian krusial dalam tahap kedua, terutama menyangkut pelucutan senjata dan penghapusan peran mereka dalam pemerintahan Gaza.
"Tahap kedua rencana Trump, sebagaimana terlihat jelas dari poin-poinnya sendiri, mengandung banyak kerumitan dan kesulitan," katanya.
Baca juga: Hamas Tolak Perwalian Asing di Jalur Gaza: Itu Urusan Internal Palestina
Ia juga menegaskan bahwa Hamas tidak akan ikut dalam penandatanganan resmi kesepakatan damai yang digelar di Mesir.
Menurutnya, Hamas selama ini bernegosiasi secara tidak langsung melalui mediator dari Qatar dan Mesir, bukan melalui saluran formal yang dipimpin oleh AS.
"Soal penandatanganan resmi, kami tidak akan terlibat," ujarnya, dikutip dari Al-Arabiya.
Perundingan di Mesir
Negosiasi di Mesir ini mempertemukan berbagai tokoh penting internasional, termasuk:
- Jared Kushner, arsitek utama proposal perdamaian
- Utusan Khusus AS Steve Witkoff
- Kepala intelijen Mesir Hassan Rashad
- Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman
- Kepala intelijen Turki Ibrahim Kalin
- Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer
- Dan delegasi dari kelompok Jihad Islam Palestina
Kehadiran negara-negara Arab dan Islam dalam proses ini dianggap Hamas sebagai faktor yang bisa memperkuat posisi negosiasi, sekaligus membatasi ruang gerak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam melanjutkan agresi.
Warga Gaza Mulai Kembali, Tapi Kehidupan Masih Penuh Tantangan
Dengan berlakunya tahap pertama gencatan senjata pada Jumat siang, ribuan warga Palestina mulai kembali ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai militer Israel.
Mereka pulang ke utara Gaza, Khan Younis dan Jalur Gaza tengah, meskipun banyak dari mereka hanya menemukan reruntuhan dan tenda darurat sebagai pengganti rumah, dikutip dari Anadolu Ajansi.
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, dalam 24 jam terakhir lebih dari 5.000 misi penyelamatan dan bantuan telah dilakukan.
Termasuk evakuasi jenazah, pembersihan puing-puing dan pemulihan infrastruktur dasar.
Namun, semua itu dijalankan dengan sumber daya yang sangat minim akibat blokade Israel yang masih berlangsung, menghambat masuknya bahan bakar dan peralatan penting.
Pertukaran Tahanan
Sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh Presiden AS Donald Trump, otoritas Israel memulai persiapan untuk pertukaran tahanan skala besar dengan memindahkan ratusan warga Palestina ke dua fasilitas penahanan berbeda.
Operasi ini dilakukan menjelang jadwal pembebasan yang direncanakan dalam beberapa hari ke depan.
Menurut laporan media lokal, pada Sabtu (11/10), para tahanan yang akan dibebaskan dan dikembalikan ke Gaza atau dideportasi melalui perbatasan Rafah telah dipindahkan ke Penjara Ketziot di wilayah Negev, Israel selatan.
Sementara itu, mereka yang akan dikembalikan ke wilayah Tepi Barat yang diduduki dipindahkan ke Penjara Ofer, yang terletak di sebelah barat Ramallah.
Dinas Penjara Israel mengonfirmasi bahwa proses pemindahan telah selesai dilakukan.
Harian Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa operasi ini melibatkan ribuan petugas kepolisian penjara, yang mengawal puluhan konvoi dalam sistem pengamanan ketat.
Pembebasan tahanan Palestina diperkirakan akan dimulai pada hari Senin, setelah Israel memastikan seluruh tawanannya yang masih hidup telah dikembalikan oleh Hamas.
Berdasarkan isi kesepakatan, total 2.000 tahanan Palestina akan dibebaskan sebagai imbalan atas 48 sandera Israel, yang sebagian besar telah ditahan sejak perang meletus pada Oktober 2023.
Dari jumlah tersebut, 250 tahanan yang dibebaskan adalah mereka yang sedang menjalani hukuman penjara seumur hidup, sementara sisanya, sekitar 1.700 orang, merupakan warga Gaza yang ditangkap selama operasi militer Israel di wilayah itu dalam dua tahun terakhir.
Kementerian Kehakiman Israel telah merilis daftar nama dari para tahanan yang akan dilepaskan sebagai bagian dari pertukaran tersebut.
Namun, di tengah proses tersebut, Kantor Media Tahanan Palestina yang berafiliasi dengan Hamas membantah telah tercapai konsensus penuh terkait daftar nama tahanan yang disertakan dalam pertukaran.
Hal ini menandakan masih adanya ketegangan internal di antara pihak-pihak terkait dalam implementasi teknis kesepakatan.
Sementara itu, menurut otoritas Israel, dari 48 sandera yang saat ini ditahan di Gaza, hanya sekitar 20 orang yang diyakini masih hidup.
Di sisi lain, lebih dari 11.100 warga Palestina saat ini mendekam di berbagai penjara Israel.
Laporan dari lembaga hak asasi manusia, baik dari Palestina maupun Israel, menyebutkan bahwa banyak dari tahanan tersebut mengalami kondisi penahanan yang buruk, termasuk penyiksaan, kelaparan, hingga kelalaian medis yang dalam beberapa kasus, bahkan menyebabkan kematian.
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Konflik Palestina vs Israel
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.