Trump Gelar Uji Coba Senjata Nuklir Baru, Saingi Rusia di Tengah Ketegangan Global
Presiden Donald Trump perintahkan uji coba senjata nuklir usai Rusia sukses uji drone Poseidon, sinyal kembalinya perlombaan senjata nuklir global.
Ringkasan Berita:
- Trump memerintahkan Pentagon memulai kembali uji coba senjata nuklir, mengakhiri moratorium lebih dari tiga dekade, usai Rusia berhasil uji drone nuklir bawah laut “Poseidon”.
- Langkah ini menuai kritik internasional karena berpotensi melanggar Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT) yang ditandatangani AS sejak 1996.
- Para analis memperingatkan uji coba ini bisa memicu perlombaan senjata baru, memperburuk ketegangan global, dan melemahkan upaya perlucutan senjata dunia.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengumumkan langkah besar yang berpotensi mengguncang stabilitas keamanan dunia.
Dalam pernyataannya pada Kamis (30/10/2025), Trump mengatakan bahwa dirinya telah memerintahkan Pentagon untuk memulai kembali uji coba senjata nuklir.
Menandai berakhirnya masa moratorium yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade.
Mengutip laporan AFP, pengumuman itu datang setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan keberhasilan uji coba drone bawah air bertenaga nuklir “Poseidon”, yang disebut memiliki kekuatan destruktif luar biasa.
Dimana senjata baru milik tentara Rusia itu diklaim mampu menciptakan tsunami radioaktif besar jika diaktifkan di laut dalam.
Pihak Kremlin menegaskan bahwa uji coba Poseidon bukanlah uji coba nuklir langsung, melainkan bagian dari pengembangan sistem pertahanan strategis.
Namun, pengumuman Rusia itu tetap memicu kekhawatiran di Washington terkait potensi kembalinya perlombaan senjata nuklir seperti era Perang Dingin.
Hingga mendorong Trump untuk mengambil langkah agresif, memastikan bahwa Amerika Serikat tidak tertinggal dalam perlombaan teknologi pertahanan nuklir.
Trump tidak menjelaskan secara rinci apakah perintah uji coba yang dimaksud mencakup pengujian hulu ledak nuklir atau sistem peluncurannya saja.
Kendati demikian, pihaknya menegaskan bahwa pengujian tersebut akan dimulai “dalam waktu dekat” sebagai bentuk kesiapan strategis Amerika Serikat menghadapi peningkatan kemampuan militer Rusia dan China.
Baca juga: Rusia Klaim Torpedo Nuklir Poseidon Mampu Lumpuhkan Amerika: Daya Ledak 100 Megaton
“Karena negara lain sedang menguji programnya, saya telah menginstruksikan Departemen Perang untuk mulai menguji senjata nuklir kami secara setara,” tulis Trump dalam unggahan di media sosial.
“Amerika memiliki lebih banyak senjata nuklir dibanding negara manapun. Namun, kami tidak akan diam ketika pihak lain memperluas kemampuan mereka,” imbuhnya.
AS Langgar Komitmen Global?
Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memulai kembali uji coba senjata nuklir menimbulkan perdebatan global.
Langkah tersebut dipertanyakan karena berpotensi melanggar komitmen internasional yang telah disepakati Washington hampir tiga dekade lalu.
Amerika Serikat merupakan penandatangan Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT) sejak tahun 1996.
Perjanjian ini secara tegas melarang seluruh bentuk ledakan uji coba atom, baik untuk kepentingan militer maupun sipil.
Meski menimbulkan kekhawatiran internasional, Trump tetap membanggakan kekuatan arsenal nuklir negaranya.
“Amerika memiliki lebih banyak senjata nuklir daripada negara manapun di dunia. Kami telah melakukan pembaruan menyeluruh terhadap semua sistem yang ada,” ujar Trump dalam perjalanan menggunakan Air Force One.
Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Amerika Serikat saat ini memiliki sekitar 5.177 hulu ledak nuklir, sedikit di bawah Rusia yang memiliki 5.489 unit, sementara China tercatat memiliki sekitar 600 hulu ledak.
Secara keseluruhan, dunia kini menyimpan lebih dari 12.200 senjata nuklir yang tersebar di sembilan negara, termasuk AS, Rusia, China, Prancis, Inggris, Pakistan, India, Israel, dan Korea Utara.
Para analis memperingatkan bahwa jika AS benar-benar melanjutkan uji coba nuklirnya, hal itu dapat memicu ketegangan baru serta melemahkan upaya perlucutan senjata global yang selama ini dijaga oleh komunitas internasional.
Langkah tersebut bisa memicu reaksi cepat dari Rusia maupun China, sekaligus melemahkan kepercayaan internasional terhadap perjanjian non-proliferasi.
Amerika terakhir kali melakukan uji coba nuklir bawah tanah pada September 1992 di Nevada dengan kekuatan 20 kiloton.
Setelah itu, Presiden George H. W. Bush menetapkan moratorium yang dilanjutkan hingga pemerintahan-pemerintahan berikutnya.
Sejak saat itu, pengujian senjata nuklir di AS digantikan oleh eksperimen simulasi komputer dan tes subkritis untuk memastikan keandalan sistem tanpa ledakan nyata.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.