Sabtu, 15 November 2025

Catatan ISDS Soal Kerja Sama Keamanan Baru RI-Australia, Ingatkan Sejarah Hingga Soal China & Rusia

ISDS memberikan sejumlah catatan terkait rencana kerja sama baru antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia di bidang keamanan.

Penulis: Gita Irawan
Sekretariat Presiden
AUSTRALIA - Perdana Menteri (PM) Australia Anthony bersama Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto di atas kapal HMAS Canberra, Garden Island Naval Base, Australia, pada Rabu (12/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Rencana kerja sama keamanan baru Indonesia–Australia akan diteken Januari 2026, berlandaskan tiga perjanjian sebelumnya: Kesepakatan Keating–Soeharto (1995), Traktat Lombok (2006), dan Defence Cooperation Agreement (2024).
  • ISDS menilai kerja sama harus lebih dari sekadar dokumen, melainkan dibangun atas dasar kepercayaan.
  • Australia dinilai masih bergantung pada kekuatan besar, seperti AS dan aliansi Indo-Pasifik yang kadang berseberangan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) memberikan sejumlah catatan terkait rencana kerja sama baru antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia di bidang keamanan.

ISDS (Indonesia Strategic and Defence Studies) adalah sebuah kelompok kajian independen yang terdiri dari para ahli dan jurnalis yang fokus pada isu-isu strategis dan pertahanan di Indonesia

Rencana kerja sama Indonesia dan Australia itu sebelumnya diumumkan dalam pernyataan bersama yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di atas kapal HMAS Canberra, Garden Island Naval Base, Australia pada Rabu 12 November 2025 kemarin.

Disebutkan juga, traktat kerja sama tersebut akan ditandatangani secara resmi oleh kedua pihak pada Januari 2026 saat Albanese mengunjungi Indonesia atas undangan Prabowo.

Setidaknya ada tiga kesepakatan yang menjadi landasan kerja sama baru tersebut.

Ketiganya antara lain kesepakatan PM Paul Keating dan Presiden Kedua RI Soeharto yang diteken sekira 30 tahun lalu, perjanjian keamanan Traktat Lombok yang diteken pada 2006, dan Defence Cooperation Agreement (Kesepaktan Kerja Sama Pertahanan) yang diteken Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Pertahanan Australia Richard Marles pada 2024 lalu.

Co Founder ISDS Edna Caroline mencatat sebagai dua negara maritim yang bertetangga, Indonesia dan Australia memiliki kedekatan geografis serta tantangan keamanan yang sama. 

Namun, kata dia, sejarah menunjukkan bahwa kerja sama antara kedua negara tersebut membutuhkan lebih dari sekadar perjanjian diplomatik.

Menurutnya, kerja sama itu memerlukan kepercayaan, konsistensi, dan saling pengertian.

Edna memandang perjanjian itu tidak hanya berada dalam konteks kesamaan kepentingan, melainkan juga perbedaan strategis. 

Dia melihat budaya strategis Australia selama ini dibentuk oleh ketergantungannya pada kekuatan besar dan persepsi jarak dari Asia. 

Sejak Perang Dunia II, kata dia, kebijakan pertahanannya telah berevolusi dari strategi forward defense di era Perang Dingin, menjadi defense of Australia pada akhir 1980-an, dan kini bergeser menuju konsep security with Asia. 

Pergeseran itu menurutnya merupakan langkah positif karena menekankan kemitraan, bukan penghadangan.

Namun agar kerja sama itu bermakna, kata Edna kolaborasi harus diwujudkan melalui inisiatif nyata, bukan hanya hitam di atas putih.

Seperti yang tercermin dari pengalaman Kesepakatan Keating–Soeharto tahun 1995, lanjut dia, efektivitas setiap hubungan bilateral bergantung pada kepercayaan politik dan nilai strategis yang sejalan.

"Sebagai catatan, hanya tiga tahun setelah kesepakatan itu, ketika Indonesia berada dalam krisis ekonomi dan politik, tahun 1998 PM Howard mengirim surat ke Presiden Habibie untuk mengadakan referendum di Timor Timur," kata Edna saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Kamis (13/11/2025). 

"Dalam konteks saat ini — yang ditandai oleh perubahan geopolitik, tantangan iklim, dan rivalitas kekuatan besar — kedua negara perlu melangkah lebih jauh dari simbolisme menuju kolaborasi yang nyata dan saling menguntungkan," lanjut Edna.

Indonesia, kata dia, memahami bahwa Australia masih berporos kuat pada Amerika Serikat dan jaringan Indo-Pasifik yang lebih luas, termasuk AUKUS, QUAD, serta kemitraannya dengan negara-negara Pasifik. 

Di samping itu, lanjut Edna, Perjanjian Pukpuk Treaty 2025 antara Australia dan Papua Nugini menunjukkan niat Canberra memperluas pengaruh kawasan. 

"Meski langkah ini dapat memperkuat stabilitas regional, Indonesia memiliki kekhawatiran sah terkait dampaknya terhadap isu Papua dan sensitivitas kedaulatan nasional," jelasnya.

"Agar kemitraan berjalan seimbang, fokus kerja sama harus diarahkan pada kepentingan bersama, bukan pada persepsi ancaman. Ajakan Australia agar Indonesia memandang Tiongkok sebagai musuh kerap berseberangan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif," ujar dia. 

Dalam konteks pembangunan nasional, menurut dia, Indonesia tengah memperkuat kualitas sumber daya manusia melalui berbagai program kesejahteraan. 

Salah satunya, kata Edna, adalah program Makan Bergizi Gratis, yang membutuhkan pengembangan sektor peternakan sapi untuk menjamin pasokan daging dan susu yang berkelanjutan. 

"Dalam hal ini, kerja sama dengan Australia -salah satu produsen ternak terbesar dunia- berpotensi besar mendukung ketahanan pangan serta meningkatkan kesejahteraan dan inovasi pertanian dan peternakan Indonesia," 

Selain itu, kata dia, Indonesia juga ingin memperluas pasar industri pertahanannya, khususnya dalam produksi senjata personal, kapal patroli, dan pesawat maritim. 

Menurutnta kolaborasi dalam bentuk transfer teknologi dan joint venture dapat membawa manfaat ekonomi sekaligus memperkuat stabilitas kawasan.

"Bagi Indonesia, peluang ini bersifat high-gain, high-risk. Kerja sama yang lebih erat dengan Australia dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kawasan, namun juga harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketergantungan strategi," katanya.

"Kerja sama ini juga tidak berarti Indonesia lantas masuk ke dalam kubu Australia karena dengan politik bebas aktif, Indonesia juga perlu meningkatkan diplomasi pertahanan dengan banyak negara, termasuk China dan Rusia," lanjut dia.

Menurut Edna diplomasi pertahanan perlu diorkestrasikan bersama diplomasi luar negeri.

Ibarat “strategi capit udang”, kata dia, Indonesia harus lincah dan percaya diri dalam menghadapi kompetisi global.

"Pada akhirnya, kedua negara akan memperoleh manfaat dari kemitraan yang dibangun bukan atas dasar ketakutan dan tekanan eksternal, tetapi visi bersama: Indo-Pasifik yang aman, makmur, dan berkelanjutan," kata Edna.

"Membangun kepercayaan, memperkuat pertukaran antarwarga, dan memperluas kerja sama dari sektor maritim hingga pangan adalah kunci agar hubungan Indonesia–Australia berkembang dari sekadar tetangga menjadi mitra strategis sejati," pungkasnya. 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved