Konflik Palestina Vs Israel
Hamas Ogah Pasukan Stabilisasi Internasional Ada di Gaza, Minta Tentukan Nasib Sendiri
Juru bicara Hamas, Hazem Qassem mengatakan pihaknya menolak adanya Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) berada di Gaza.
Ringkasan Berita:
- Juru bicara Hamas, Hazem Qassem secara tegas menolak adanya Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) di Jalur Gaza.
- Qassem mengatakan rencana itu sama sekali tidak mendukung stabilitas situasi di Gaza.
- Draf resolusi AS tersebut menguraikan rencana pengerahan ISF dengan mandat yang mencakup pengamanan perbatasan, penghancuran infrastruktur militer, dan demiliterisasi Jalur Gaza.
TRIBUNNEWS.COM - Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, secara tegas menolak draf resolusi yang diajukan Amerika Serikat (AS) kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Dalam draf tersebut, AS mengusulkan pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) di Jalur Gaza.
Menanggapi adanya draf tersebut, Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyebut proposal itu sama sekali tidak "mendukung stabilitas situasi di Gaza".
Dalam sebuah pernyataan, Qassem mengecam draf resolusi tersebut.
Ia menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah resolusi DK PBB yang secara eksplisit menghalangi Israel untuk "melanggar Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem".
"Kami menginginkan resolusi Dewan Keamanan yang melindungi hak rakyat kami untuk menentukan nasib sendiri dan mencegah terjadinya perang di Jalur Gaza," ujar Qassem, Minggu (16/11/2025), dikutip dari The Jerusalem Post.
Draf resolusi AS tersebut menguraikan rencana pengerahan ISF dengan mandat yang mencakup pengamanan perbatasan, penghancuran infrastruktur militer, dan demiliterisasi Jalur Gaza.
Proposal tersebut juga menyertakan rencana untuk melatih sebuah kepolisian Palestina yang akan bergabung dengan pasukan multinasional itu.
Selain itu, draf tersebut mensyaratkan bahwa keputusan terkait ISF akan diambil bersama dengan Mesir dan Israel sebagai anggota pasukan.
Lebih lanjut, proposal tersebut mengikat penarikan Israel dari Jalur Gaza pada pengerahan penuh ISF di seluruh wilayah, kecuali untuk zona perimeter tempat AS direncanakan akan tetap berada di sana untuk jangka waktu yang lebih lama.
Penolakan keras dari Hamas ini semakin memperumit upaya diplomatik internasional untuk mencapai solusi jangka panjang bagi konflik berkepanjangan di kawasan tersebut.
Baca juga: Kushner dan Netanyahu Bahas Fase Kedua Rencana Trump untuk Gaza, 200 Pejuang Hamas Terjebak di Rafah
Tuntutan Hamas berpusat pada kedaulatan dan pencegahan intervensi militer Israel di masa depan di wilayah-wilayah Palestina.
Israel Juga Memperumit Upaya Perdamaian
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan anggota penting kabinetnya secara kolektif menyuarakan penolakan tegas terhadap pembentukan negara Palestina.
Sikap ini ditegaskan menjelang pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB pada Senin (17/11/2025) waktu setempat, atas sebuah resolusi yang mendukung rencana perdamaian Gaza yang diinisiasi oleh AS.
Mengutip Arab News, draf resolusi PBB tersebut merupakan tindak lanjut dari kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Resolusi ini mencakup dukungan Dewan Keamanan untuk pembentukan administrasi transisional dan penempatan pasukan keamanan internasional sementara di wilayah Gaza yang hancur.
Meskipun demikian, para pemimpin Israel justru menggunakan kesempatan tersebut untuk menegaskan bahwa kedaulatan Palestina tidak akan diizinkan berdiri.
Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, mendesak Netanyahu untuk segera merumuskan "tanggapan yang tepat dan tegas yang akan memperjelas kepada seluruh dunia – tidak akan ada negara Palestina yang akan pernah muncul di tanah air kami".
Menanggapi desakan tersebut pada hari Minggu, Netanyahu membalas bahwa dirinya "tidak memerlukan afirmasi, tweet, atau kuliah dari siapa pun", namun secara implisit menggarisbawahi posisinya yang menentang negara Palestina.
Penolakan senada juga datang dari Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar.
Saar turut menyatakan bahwa Israel "tidak akan setuju dengan pendirian negara Palestina di jantung Tanah Israel".
Bahkan, Menteri Keamanan Nasional garis keras, Itamar Ben Gvir, melangkah lebih jauh dengan menyebut identitas Palestina sebagai sebuah "temuan fiksi" atau "buatan".
Resolusi Dewan Keamanan ini secara efektif akan mengantar masuknya fase kedua dari kesepakatan yang didukung AS yang dicapai bulan lalu.
Kesepakatan tersebut, yang muncul setelah dua tahun konflik yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di Israel, telah menghasilkan gencatan senjata sementara.
Baca juga: Mengerikan! Perang Israel-Hamas Tak Hanya Hancurkan Kota, tapi Ubah Air Gaza Jadi Racun
Fase pertama perjanjian itu telah mencakup pembebasan 20 sandera Israel terakhir yang masih hidup dan hampir seluruh dari 28 jenazah sandera yang tewas yang ditahan oleh militan Palestina.
Sebagai imbalannya, Israel telah membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dan mengembalikan 330 jenazah.
Sikap para pemimpin Israel ini menyoroti ketegangan politik yang mendalam di Jerusalem, yang secara terang-terangan menentang prinsip penyelesaian dua negara yang sering didukung oleh komunitas internasional sebagai jalan menuju perdamaian abadi di Timur Tengah.
(Tribunnews.com/Whiesa)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/Personel-Brigade-Al-Qassam-sayap-militer-gerakan-Hamas-dikerahkan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.