Rabu, 19 November 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Afsel Usut Pesawat Misterius Bermuatan 153 Warga Palestina, Aktivis Tuding Israel Pakai LSM Bayangan

Pesawat misterius berisi 153 warga Palestina mendarat diam-diam di Afsel. Aktivis menuding Israel gunakan LSM bayangan untuk operasi terselubung

Tangkapan layar YouTube The Guardian
WARGA GAZA - Tangkapan layar YouTube The Guardian pada Kamis (9/10/2025). Pesawat misterius membawa 153 warga Palestina mendarat di Afsel tanpa izin dan tanpa dokumen resmi, Aktivis menuding Israel memakai LSM bayangan Al-Majd Eropa untuk mengevakuasi bahkan “memperdagangkan”warga Gaza. 
Ringkasan Berita:
  • Pesawat misterius membawa 153 warga Palestina mendarat di Afsel tanpa izin dan tanpa dokumen resmi, memicu kecurigaan operasi pemindahan paksa terselubung.
  • Aktivis menuding Israel memakai LSM bayangan Al-Majd Eropa untuk mengevakuasi—bahkan “memperdagangkan”—warga Gaza, dengan biaya tinggi dan komunikasi hanya lewat WhatsApp.
  • Afsel menuntut investigasi penuh atas dugaan jaringan besar di balik operasi ini, termasuk peran Israel dalam memfasilitasi rute penerbangan hingga Afrika Selatan.

TRIBUNNEWS.COM - Ketegangan diplomatik meningkat setelah sejumlah aktivis Afrika Selatan (Afsel) menuduh Israel menggunakan organisasi kemanusiaan bayangan untuk memaksa warga Palestina keluar dari Gaza.

Tuduhan ini muncul menyusul insiden kedatangan pesawat carteran misterius yang membawa 153 warga Palestina di Bandara Internasional OR Tambo Afsel pada Kamis lalu (13/11/2025).

Menurut laporan media lokal, pesawat yang membawa rombongan warga Palestina itu mendarat tanpa sepengetahuan pemerintah Afrika Selatan.

Para penumpang juga tidak membawa dokumen resmi apa pun sehingga proses pemeriksaan tidak dapat segera dilakukan. Hal itu membuat ratusan penumpang tertahan selama hampir 12 jam tanpa kejelasan.

Insiden ini sontak mencuri perhatian hingga aktivis lokal dan pejabat pemerintah mulai menelusuri asal-usul penerbangan tersebut.

Namun, saat ditelusuri lebih jauh sejumlah kejanggalan mulai muncul ke permukaan.

Menurut aktivis, banyak pengungsi bahkan tidak memahami kemana mereka sebenarnya dibawa.

“Ini tampak seperti operasi pemindahan paksa yang disamarkan sebagai evakuasi,” ujar Na'eem Jeenah, aktivis dan cendekiawan asal Johannesburg, sebagaimana dikutip dari Middle East Eye.

Boarding pass mereka menunjukkan tujuan berbeda-beda seperti India, Malaysia, bahkan Indonesia, sehingga kedatangan mereka di Johannesburg tampak bukan bagian dari rencana perjalanan yang sebenarnya.

Baca juga: Hamas Ogah Pasukan Stabilisasi Internasional Ada di Gaza, Minta Tentukan Nasib Sendiri

Kondisi kesehatan dan fisik para penumpang juga memprihatinkan. Beberapa dari mereka tidak makan selama penerbangan. Bahkan, bayi tidak diganti popoknya selama lebih dari 24 jam.

Sementara itu, seorang ibu hamil mengalami kontraksi dan seorang anak dilaporkan mengalami kejang karena dehidrasi

Dengan sederet fakta ini, para aktivis menyebut Al-Majd Eropa, organisasi yang mengatur perjalanan ratusan warga Gaza tersebut, sebagai “kedok yang digunakan Israel untuk mempercepat pembersihan etnis masyarakat Gaza”.

Terutama menyasar kelas profesional dokter, pendidik, hingga pelaku bisnis yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali Gaza.

Pernyataan itu diperkuat oleh laporan Associated Press yang menyebut seorang pejabat militer Israel mengakui bahwa Israel memfasilitasi pemindahan warga Palestina hingga ke Bandara Ramon sebelum mereka diterbangkan ke Nairobi dan kemudian Johannesburg.

LSM yang Diduga "Muncul Entah Dari Mana"

Al-Majd Eropa mengklaim berdiri sejak 2010 dan berbasis di Jerman dengan kantor di Yerusalem. Namun aktivis mengaku organisasi itu tidak memiliki rekam jejak yang jelas.

Menurut Khalid Vawda dari kelompok Sosial Intifada, organisasi ini selama berbulan-bulan mempromosikan layanan "evakuasi dari Gaza" melalui media sosial.

Bahkan banyak warga Palestina yang menghubungi mereka secara mandiri karena penyeberangan Rafah ditutup dan situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.

Namun, perjalanan yang dijanjikan aman ternyata penuh ketidakjelasan.

Para pengungsi diminta membayar 1.500 sampai dengan 5.000 dolar AS atau sekitar Rp21 juta hingga Rp83 juta per orang.

Setelah pembayaran dilakukan, satu-satunya saluran komunikasi hanyalah percakapan WhatsApp dengan perwakilan LSM tersebut, tanpa kontrak resmi atau dokumen tertulis yang menjelaskan detail perjalanan.

Vawda menyebut pola ini sebagai bentuk eksploitasi terhadap orang-orang yang berada dalam kondisi paling rentan.

“Ini bentuk eksploitasi terhadap orang yang sedang putus asa dan trauma akibat perang,” tegasnya.

Ia juga mempertanyakan bagaimana sebuah organisasi yang tidak memiliki rekam jejak transparan dapat mengelola pemindahan warga lintas negara tanpa pengawasan internasional yang memadai.

Tuntutan Investigasi Menyeluruh

Seruan untuk membuka penyelidikan menyeluruh datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil.

Aktivis Linda Oosthuizen menegaskan bahwa perlakuan terhadap para penyintas perang itu jauh dari standar kemanusiaan.

“Kami meminta penyelidikan serius. Cara para penyintas perang ini diperlakukan sangat memalukan,” ujarnya.

Pemerintah Afrika Selatan kini tengah mengumpulkan dokumen penerbangan, memeriksa pihak-pihak yang mengatur perjalanan, dan menghubungi otoritas internasional untuk memastikan apakah Al-Majd Eropa beroperasi sesuai hukum.

Penyelidikan ini diharapkan dapat mengungkap siapa aktor utama di balik operasi tersebut dan apa tujuan sebenarnya dari pemindahan warga Gaza ke Afrika Selatan.

(Tribunnews.com / Namira)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved