Tren 'Manusia Tikus' di China Bikin Gempar, Mulai Menjalar ke Indonesia?
Postingan tentang "manusia tikus" telah menarik lebih dari 2 miliar penayangan di media sosial Tiongkok.
Ringkasan Berita:
- Jutaan anak muda di Tiongkok (China) menyebut diri mereka "manusia tikus".
- Mereka berbaring sepanjang hari, hanya bangun untuk makan.
- Mereka adalah generasi yang "bersembunyi di dalam tanah" untuk menghindari tekanan.
TRIBUNNEWS.COM, CHINA - Di media sosial Tiongkok, istilah "manusia tikus" viral ditonton miliaran orang.
Siapa 'manusia tikus' itu.
Yah, mereka adalah anak-anak muda yang bangun siang, berbaring di tempat tidur hingga malam, membuka ponsel tanpa tujuan, memesan makanan online diantar sampai rumah, dan memutus hubungan sosial.
Di media sosial mereka dibandingkan dengan "tikus" yang hidup dalam kegelapan tanpa tujuan dan hanya tahu cara bersembunyi.
Postingan tentang "manusia tikus" telah menarik lebih dari 2 miliar penayangan di media sosial Tiongkok.
Mulai dari TikTok hingga Weibo, banyak pula meme-nya beredar hingga menjadi produk komersial.
Sebuah foto mengejutkan memperlihatkan seorang gadis di Zhejiang yang membagikan jadwalnya "berbaring" sepanjang hari telah menimbulkan kehebohan.
Seorang wanita bermarga Lin, dari Beijing mengatakan dia bekerja dari rumah, menghindari komunikasi yang tidak perlu dengan rekan kerja, bungkus makanan dibawa pulang atau pesan makanan lewat online, dan menghabiskan akhir pekannya dengan tidur dan bermain game di rumah.
"Tidak perlu bersikap energik atau ambisius," ujarnya dikutip dari SCMP.
"Kita hidup bukan untuk membuat orang terkesan. Merasa nyaman saja sudah cukup."
“Gen frustrasi” menyebar secara global
Di Jepang, dikenal istilah Hikikomori yang merujuk pada orang-orang yang telah menarik diri dari masyarakat selama enam bulan atau lebih.
Lebih dari 1 juta orang Jepang hidup tenang di balik pintu kamar tidur, terputus dari hubungan sosial, dan menjadi "bayangan" di kawasan perkotaan modern.
Ini dianggap sebagai versi asli dari fenomena “manusia tikus”.
Dan fenomena di Jepang ini sebenarnya sudah ada lebih dari dua dekade sebelum Tiongkok mengalami tren 'manusia tikus'.
Di Korea Selatan dinamakan generasi "sampo".
Mereka menolak berpacaran, menikah, dan memiliki anak karena biaya hidup yang tinggi dan persaingan karier yang ketat.
Mereka memilih hidup sendiri, makan sederhana, dan meminimalkan segala aspek kehidupan demi bertahan hidup.
Di Inggris, proporsi penduduk berusia 20-24 tahun yang terputus secara ekonomi dan sosial telah berlipat ganda hanya dalam satu dekade, dari 4,5 persen menjadi 9 persen.
Angka ini juga meningkat tajam di AS, Kanada, dan Jerman.
Angka ini mencapai level tertinggi dalam beberapa dekade.
Di Indonesia disebut 'kaum rebahan'.
Mereka malas-malasan sepanjang hari, rebahan di tempat tidur.
Di tengah situasi ekonomi yang tak menentu
Padahal situasi ekonomi negara itu lagi serius, dengan tingkat pengangguran kaum muda Tiongkok pada April 2025 mencapai 15,8 persen.
Sementara lulusan universitas tahun ini diperkirakan akan mencapai rekor 12,22 juta.
Lapangan pekerjaan terbatas, persyaratan rekrutmen tinggi, tetapi gaji tidak cukup untuk menutupi pengeluaran.
Ujian masuk universitas nasional yang dianggap sebagai "gerbang menuju kesuksesan" masih meninggalkan tekanan yang sangat besar.
Setelah bertahun-tahun belajar intensif dan ujian yang ketat, banyak anak muda menyadari bahwa gelar tidak menjamin pekerjaan yang stabil.
Biaya hidup meroket sementara pendapatan stagnan.
Harga rumah di Beijing dan Shanghai sangat tinggi dan apartemen kecil bisa menghabiskan pendapatan seumur hidup.
Menikah, punya anak, atau menyewa rumah sendiri, semuanya menjadi impian yang jauh.
Kesenjangan antara keinginan untuk mandiri dan kenyataan pahit menyebabkan banyak orang memilih untuk menarik diri.
Dengan populasi 1,4 miliar jiwa, setiap masalah sosial di Tiongkok menjadi "masalah besar" global.
Ukurannya yang sangat besar menjadikannya pasar massal, masalah nyata yang sulit diabaikan.
Ketika jutaan anak muda keluar dari pasar tenaga kerja, konsekuensi ekonomi dan sosialnya sangat mengerikan.
Tekanan ujian dan ekspektasi keluarga menciptakan lingkungan yang keras.
Seorang anak Tiongkok harus belajar 12-14 jam sehari untuk masuk universitas yang bagus lalu bekerja 12-14 jam untuk mempertahankan pekerjaan.
Ketimpangan pendapatan dan akses terhadap aset membuat banyak anak muda merasa tidak adil dan memilih untuk menyerah.
Gelombang pengangguran Gen Z
Secara global, jutaan Generasi Z yang menganggur tidak bekerja, tidak berpendidikan, dan tidak terlatih.
Mereka menghabiskan harinya dengan smart phone, gaming, dan yang berhubungan dengan digital.
Pasca pandemi Covid-19 semuanya berubah.
Generasi yang tersingkir dari pasar tenaga kerja berarti kekurangan sumber daya manusia berkualitas, yang memengaruhi produktivitas dan daya saing nasional.
Ketika orang-orang cerdas memilih untuk berdiam diri daripada berkontribusi, ini adalah krisis bakat yang senyap namun serius.
Di Tiongkok dan Korea Selatan, di mana angka kelahiran telah anjlok, kaum muda enggan menikah atau memiliki anak sehingga menimbulkan risiko krisis populasi di masa mendatang.
Penolakan pekerjaan yang berulang juga berdampak buruk pada kesehatan mental, yang menyebabkan isolasi, depresi, kecemasan, gangguan makan, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.
Sistem kesehatan mental belum siap untuk mengatasinya.
Advita Patel, Presiden Royal Institute of Public Relations (UK) berkomentar bahwa ini bukan sekadar Gen Z yang menyerah tetapi protes diam-diam terhadap kelelahan, kekecewaan, dan lowongan kerja yang keras dan terbatas.
Ketika mereka tidak bisa mengubah sistem, mereka memilih untuk berhenti.
Ketika mereka tidak bisa memenangkan permainan, mereka memilih untuk tidak bermain.
Tanpa perubahan fundamental dalam tatanan ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan, "manusia tikus" bukan sekadar tren daring, melainkan krisis generasi di abad ke-21.
| Hasil Drawing Syed Modi India International 2025: Wakil Indonesia Kompak Mundur, Apri/Fadia Unggulan |
|
|---|
| Kemenag Catat Lonjakan Umrah Pascapandemi, Jemaah Pilih Saat Musim Dingin |
|
|---|
| Jadwal 16 Besar Australia Open 2025: 11 Wakil Indonesia Berjuang Lagi, Alwi Farhan Pembuka |
|
|---|
| Polemik Ijazah Melebar hingga KIP, Kuasa Hukum Roy Suryo Sebut Jokowi Egois dan Singgung Arsul Sani |
|
|---|
| Jadwal Resmi Drawing Piala Dunia 2026: Argentina Juara Bertahan, Timnas Indonesia Nyimak |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.