Kesehatan
Waspadai Sindrom Nefrotik pada Anak, Begini Gejala Tersembunyi yang Sering Terlewat
Sindrom nefrotik pada anak umumnya ditandai dengan pembengkakan, terutama di area wajah atau perut saat pagi hari.
Penulis:
Rina Ayu Panca Rini
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Apakah anak Anda tampak sehat namun sering buang air kecil berbusa? Mungkin itu bukan hal biasa.
Gejala tersebut bisa menjadi pertanda awal sindrom nefrotik, penyakit yang menyerang ginjal dan bisa berkembang menjadi kondisi kronis jika tak segera ditangani.
Sindrom nefrotik pada anak umumnya ditandai dengan pembengkakan, terutama di area wajah atau perut saat pagi hari.
Tapi tak semua kasus menampakkan gejala yang jelas. Justru, kasus laten atau tersembunyi lebih sulit dikenali dan lebih berbahaya.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr Ahmedz Widiasta,Sp.A, Subsp.Nefro(K),M.Kes.
“Biasanya, protein lolos melalui urin. Tetapi tidak ketahuan karena tidak ada bengkak. Nah, itu bisa kita detect dari ada atau tidaknya busa di dalam urin,” ungkapnya dalam diskusi media virtual, Kamis (17/7/2025).
Sindrom nefrotik terjadi karena kerusakan pada glomerulus, bagian dari nefron di ginjal, sehingga protein yang seharusnya tetap dalam darah malah ikut terbuang bersama urin.
Ketika protein dalam darah berkurang, tekanan onkotik turun, menyebabkan cairan tubuh masuk ke rongga-rongga lain.
Ini bisa mengakibatkan pembengkakan, kesulitan bernapas, hingga syok.
Bahaya lainnya adalah kerusakan jangka panjang.
Proteinuria yang berlangsung lebih dari tiga bulan bisa memicu fibrosis ginjal, merusak jaringan, dan akhirnya menimbulkan penyakit ginjal kronik tahap akhir.
Baca juga: Mudah Lelah, Kelopak Mata Turun? Waspada! Itu Gejala Miastenia Gravis, Penyakit Jenis Autoimun
Lebih dari 80 persen kasus sindrom nefrotik termasuk kategori idiopatik—artinya, penyebab pastinya belum diketahui.
Namun para peneliti mengaitkan sindrom ini dengan gangguan sistem imun, melibatkan sel T dan B.
“Apakah itu masalah epigenetik? Nah, epigenetik itu penelitiannya sangat mahal dan masih sedikit. Ada yang mengatakan karena micro RNA 30, gangguan mitolasi DNA, dan micro RNA 433,” imbuhnya.
Penanganan sindrom nefrotik yang tepat sangat bergantung pada konsistensi terapi.
Sebagian besar kasus bisa sembuh dengan steroid murah.
Namun jika terapi dihentikan sepihak oleh orang tua, maka efektivitas pengobatan bisa menurun drastis.
“Karena orang tuanya sudah merasa, ah, nanti kalau bengkak, obatnya ini lagi. Lalu diobati, sudah tidak bengkak, berhenti lagi,” ungkapnya.
Penting juga memperhatikan pemicu kekambuhan. Infeksi seperti batuk, pilek, diare, dan gigi berlubang dapat memicu kekambuhan sindrom nefrotik yang berat.
Karena itu, pola hidup bersih dan sehat, seperti menjaga kebersihan gigi serta menerapkan 5M (seperti saat pandemi), bisa menjadi langkah protektif.
Dalam studi di RS Hasan Sadikin, mayoritas anak yang mengalami kekambuhan berat ternyata memiliki riwayat infeksi saluran napas atau gigi berlubang.
“Sebagian besar anaknya mengalami gangguan berupa kekambuhan yang sering pada sindrom nefrotik, dilatar belakangnya oleh seringnya batuk pilak, seringnya diare, dan juga adanya gigi berlubang yang tidak dilakukan tata laksana dengan baik,” jelasnya.
Sayangnya, kebijakan BPJS belum sepenuhnya mendukung program skrining dini untuk penyakit ginjal.
Pemeriksaan urin tahunan yang sangat murah ini bisa menyelamatkan ribuan anak dari kerusakan ginjal permanen, namun belum dianggap layak untuk diklaim.
“Apakah progresifitas penyakit ginjal kronik dapat kita hentikan? Jawabannya bisa asal kita temukan secara dini,” tegasnya.
Pemeriksaan urin rutin setiap tahun sejak usia 3 tahun sangat disarankan.
Jika proteinuria terdeteksi dini, terapi bisa dilakukan tepat waktu sebelum kondisi memburuk.
Biaya pemeriksaan ini bahkan tidak sampai seribu rupiah per anak, jauh lebih murah dibandingkan biaya obat imunosupresif yang harganya bisa puluhan juta.
Kebocoran ginjal pada anak bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah ekonomi keluarga dan negara.
Oleh karena itu, upaya skrining dan edukasi masyarakat menjadi langkah kunci untuk menyelamatkan generasi muda dari penyakit ginjal kronik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.