Jumat, 5 September 2025

Tak Hanya Obat, Pola Makan Tentukan Keberhasilan Terapi Anemia pada Anak

Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang banyak dialami anak-anak Indonesia. 

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Tribunnews.com/ Rina Ayu
ANEMIA - Berikut ini anak yang berisiko mengalami kekurangan zat besi sehingga memicu anemia. Mulai dari prematur hingga terlalu banyak minum susu tanpa fortifikasi atau gizi tidak seimbang. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang banyak dialami anak-anak Indonesia. 

Kondisi ini bukan hanya berdampak pada daya tahan tubuh, tetapi juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang dan kecerdasan anak.

Unit Kerja Koordinasi (UKK) Hematologi Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menegaskan, Prof. Dr. dr. Harapan Parlindungan Ringoringo, Sp.A, Subsp.H.Onk(K) tata laksana terapi ADB harus dilakukan secara tepat dan konsisten.

Baca juga: Anemia hingga Alergi, Masalah Kesehatan Anak yang Perlu Dideteksi Dini

Ia menjelaskan, terapi utama ADB adalah pemberian zat besi elemental sesuai dosis yang disesuaikan dengan berat badan anak.

“Terapinya apa kalau seorang anak sudah menderita ADB? Kita berikan besi elemental dengan dosis 3-5 mg per kilogram berat badan per hari dibagi 2-3 dosis,” jelasnya pada media briefing virtual yang diselenggarakan oleh IDAI, Rabu (3/9/2024). 

Ia mencontohkan, jika seorang anak berusia tiga tahun dengan berat badan 10 kilogram didiagnosis ADB, maka dosis besi elemental yang ideal sekitar 40 mg per hari. 

Jumlah itu bisa dibagi menjadi dua kali pemberian, pagi dan sore, selama tiga bulan berturut-turut. 

Setelah itu, pengobatan dilanjutkan satu bulan tambahan untuk mengisi cadangan besi dalam tubuh.

“Totalnya paling baik 4 bulan sejak awal pengobatan. Lebih baik lagi kalau diberikan dosis tunggal. Kalau tadi 40 mg bisa diberikan 1 kali sekaligus, akan lebih baik. Karena tingkat kepatuhannya akan lebih tinggi,” tambah Prof. Harapan.

Peran Makanan dalam Penyerapan Zat Besi

Kepatuhan minum obat memang penting, tetapi pola makan juga harus diperhatikan. 

Penyerapan zat besi dalam tubuh tergolong rendah, rata-rata hanya 10 persen dari yang dikonsumsi. 

Namun, bila dikombinasikan dengan makanan kaya vitamin C, penyerapan bisa meningkat hingga 30 persen.

“Padanannya sekitar setiap pemberian besi elemental 15 mg, kita berikan 100 mg vitamin C. Ini makanan-makanan yang dapat mempengaruhi penyerapan zat besi," paparnya. 

Daging sapi, ayam, ikan, serta buah-buahan dengan kandungan vitamin C tinggi termasuk kelompok yang membantu meningkatkan absorpsi. 

Sebaliknya, teh, kopi, susu, serta beberapa jenis sayuran dapat menghambat penyerapan zat besi bila dikonsumsi bersamaan.

Karena itu, pemberian suplemen zat besi sebaiknya dilakukan 30–45 menit sebelum makan atau dua jam setelah makan, dan tidak bersamaan dengan konsumsi susu.

Jenis Suplemen Zat Besi

Di pasaran, tersedia berbagai sediaan zat besi dengan komposisi yang berbeda. 

Beberapa di antaranya adalah ferofumarat, ferosulfat, feroglukonas, hingga iron polimaltose kompleks.

Ferosulfat merupakan bentuk yang paling banyak tersedia di apotek dan puskesmas, dengan kandungan 300 mg yang setara dengan 60 mg besi elemental. 

Bioavailabilitas setiap jenis zat besi berbeda, dan biasanya semakin tinggi kualitas penyerapannya, harga produk juga lebih mahal.

Kebutuhan Zat Besi pada Anak

Pada tahun pertama kehidupan, bayi membutuhkan sekitar 270–280 mg zat besi untuk menunjang pertumbuhan. 

Angka ini setara dengan kebutuhan rata-rata harian sekitar 0,8 mg zat besi.

Pertanyaan pentingnya, apakah kebutuhan ini bisa tercukupi hanya dari air susu ibu (ASI), susu murni, atau susu formula? 

Menurut perhitungan, kandungan zat besi dalam susu murni hanya sekitar 0,8 mg per 1000 cc dengan tingkat penyerapan 10 persen. 

Artinya, susu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi anak, sehingga suplementasi tetap diperlukan.

Terapi ADB tidak bisa berhenti pada pemberian obat semata.

Orang tua perlu memahami pentingnya kepatuhan terapi, mengatur pola makan anak, dan memastikan anak mendapat asupan bergizi seimbang.

Dengan pengelolaan yang tepat, ADB dapat diatasi sehingga anak tidak kehilangan potensi tumbuh kembangnya. 

Kesadaran keluarga dalam mendukung proses terapi menjadi kunci agar anak-anak Indonesia tumbuh lebih sehat dan cerdas.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan