Bacaan Doa
Doa Salat Tolak Bala Rebo Wekasan, Apakah Pernah Dicontohkan Rasulullah?
Doa solat tolak bala Rebo Wekasan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, namun dilakukan oleh ulama untuk "mengislamkan" budaya lokal.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Doa salat tolak bala Rebo Wekasan pada dasarnya tidak ada tuntunannya menurut Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah tidak pernah mencontohkan salat tolak bala khusus pada Rabu terakhir di bulan Safar.
Rabu Wekasan adalah tradisi yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan nilai-nilai Islam.
Tahun ini, Rabu Wekasan jatuh pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Adapun tradisi Rabu Wekasan hanya dikenal di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa.
Tradisi Rabu Wekasan biasanya dilaksanakan pada Rabu terakhir di bulan Safar dengan amalan doa-doa Islami.
Dalam tradisi non-Islam, masyarakat kuno di Indonesia melakukan tradisi tolak bala dengan upacara ritual seperti memberi sesaji di tempat yang dikeramatkan, larangan beraktivitas tertentu, ritual mandi di sungai, dll.
Tujuan ritual-ritual itu agar terhindar dari kesialan dan malapetakan pada waktu-waktu tertentu.
Sementara di kalangan masyarakat Arab jahiliyah (sebelum Islam), mereka meyakini kesialan dan malapetaka akan datang pada Rabu terakhir di bulan Safar, sebuah mitos yang dibantah oleh Rasulullah.
Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis dalam Kitab Sunan Abī Dāwud bab Ṭiyarah nomor 3913 - 3915:
Telah menceritakan kepada Kami Muḥammad bin Ali Muṣaffā telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ia berkata: Aku tanyakan kepada Muḥammad bin Rashid: “Bagaimana dengan kata Hāma?” Ia menjawab: “Orang-orang jahiliah dulu mengatakan: “Tidaklah orang yang meninggal kemudian dikubur melainkan keluar serangga berbisa dari kuburnya””. Aku tanyakan lagi: “Bagaimana dengan kata Safar?” Ia menjawab: “Aku pernah mendengar bahwa orang-orang jahiliah menisbatkan kesialan kepada bulan Safar”. Kemudian Nabi Ṣallā Allāhu ‘Alayhi wa Sallam bersabda: “Tidak ada Safar”. Muhammad berkata: Aku mendengar orang yang mengatakan: “Itu adalah suatu penyakit yang bertempat di dalam perut. Dahulu mereka mengatakan: “Penyakit tersebut menular”. Maka beliau bersabda: “Tidak ada Safar.” (HR. Bukhari no. 5757, Muslim no. 2220, Abu Dawud no. 3911–3915)
Ketika Islam datang ke Indonesia, mitos tersebut ikut terbawa dan bercampur dengan kepercayaan masyarakat lokal tentang hari-hari sial.
Baca juga: Doa Rabu Wekasan, Apakah Ada Tuntunannya Menurut Islam?
Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Indonesia kemudian "mengislamkan" budaya lokal agar menjadi kegiatan dengan nuansa ibadah dan doa kepada Allah.
Di antaranya yaitu mengajak masyarakat pada masa dakwahnya, untuk memanjatkan doa perlindungan kepada Allah ketika menjalankan tradisi Rabu Wekasan.
Selain berdoa, ada juga tradisi melakukan salat Lidaf’il Bala atau salat tolak bala.
Salat tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah, namun dilakukan oleh ulama-ulama yang ingin mengganti keyakinan "hari sial di Rabu terakhir Safar" dengan amalan Islami.
Ulama Makkah abad ke-19, Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Makkī dalam kitabnya Kanz an-Najāḥ wa as-Surūr menuliskan doa-doa dan shalat sunnah yang bisa dikerjakan di bulan-bulan tertentu untuk menolak bala.
Doa solat tolak bala ini terdapat dalam skripsi berjudul Analisis Relasi Agama dan Budaya: Studi Kasus pada Tradisi Rebo Wekasan di Desa Tlagawera Kec. Banjarnegara Kab. Banjarnegara oleh Fitriani, mahasiswi program studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin Adab dan Humanior, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto tahun 2023.
Salat Tolak Bala (Lidaf’il Bala)
Salat ini dikerjakan sebanyak empat rakaat (2 kali salam) dan dilakukan seperti salat pada umumnya.
1. Membaca niat
نَوَيْتُ صَلَاةَ الْحَاجَةِ لِدَفْعِ الْبَلَاءِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Nawaitu sholatal ḥājati li daf‘il balā’i rak‘ataini lillāhi ta‘ālā
Artinya: Saya shalat sunah untuk tolak bala dua rakaat karena Allah Ta’ala.
atau
أُصَلِّي سُنَّةَ الْحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Usholli sunnatal hājati rak‘ataini lillāhi ta‘ālā
Artinya: Saya berniat sholat sunnah hajat dua rakaat karena Allah Ta’ala
atau
أُصَلِّي سُنَّةً رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Ushollī sunnatan rak‘ataini lillāhi ta‘ālā
Artinya: Saya niat sholat sunnat dua rakaat karena Allah ta’ala
2. Dilanjutkan gerakan dan bacaan sholat seperti biasa
3. Dianjurkan, setelah membaca surat Al-Fatihah lalu membaca:
- surat Al-Kautsar 17×
- surat Al-Ikhlas 5×
- surat Al-Falaq 1×
- surat An-Naas 1×
4. Setelah selesai sholat, lalu membaca doa tolak bala sebanyak 3×
Doa Salat Tolak Bala
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ هَذَا الزَّمَانِ وَأَهْلِهِ، وَأَعُوذُ بِجَلَالِكَ وَجَلَالِ وَجْهِكَ، وَكَمَالِ جَلَالِ قُدْرَتِكَ: أَنْ تُجِيرَنِي وَوَالِدَيَّ وَأَوْلَادِي، وَأَهْلِي وَأَحِبَّائِي، وَمَا تُحِيطُهُ شَفَقَةُ قَلْبِي مِنْ شَرِّ هَذِهِ السَّنَةِ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فِيهَا، وَاصْرِفْ عَنِّي شَرَّ شَهْرِ صَفَرَ، يَا كَرِيمَ النَّظَرِ، وَاخْتِمْ لِي فِي هَذَا الشَّهْرِ وَالدَّهْرِ بِالسَّلَامَةِ وَالْعَافِيَةِ وَالسَّعَادَةِ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَأَوْلَادِي وَلِأَهْلِي وَمَا تَحُوطُهُ شَفَقَةُ قَلْبِي وَجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Wa ṣallā Allāhu ‘alā sayyidinā Muḥammad wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi ajma‘īn
A‘ūdhu billāhi min sharri hādhā az-zamāni wa ahlihi,
wa a‘ūdhu bijalālika wa jalāli wajhika, wa kamāli jalāli qudratika:
an tujīranī wa wālidayya wa awlādiya, wa ahliya wa aḥibbā'ī,
wa mā tuḥīṭuhu shafaqatu qalbī min sharri hādhihi as-sana,
wa qinī sharara mā qaḍayta fīhā, waṣrif ‘annī sharra shahri Ṣafar,
yā Karīma an-naẓar, wakhtim lī fī hādhā ash-shahri wa ad-dahri bi-as-salāmati wal-‘āfiyati was-sa‘ādati li wa liwālidayya wa awlādiya wa li-ahli wa mā taḥūṭuhu shafaqatu qalbī wa jamī‘i al-muslimīn
Wa ṣallā Allāhu ‘alā sayyidinā Muḥammad wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi wa sallam
Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan sahabatnya.
Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan zaman ini dan para penghuninya; berlindung dengan keagungan-Mu—dengan wajah-Mu, kekuatan-Mu—agar Engkau melindungi aku, kedua orang tuaku, anak-anakku, keluargaku, orang-orang yang kucintai, beserta semua yang dikasihi hatiku, dari keburukan tahun ini. Lindungilah aku dari malapetaka yang telah Engkau tetapkan; jauhkan dariku kejahatan bulan Safar, wahai Dzat yang Maha Mulia pandangannya. Jadikan akhir bulan ini dan seluruh hidupku ditutup dengan keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan — untukku, kedua orang tua, anak-anak, keluargaku, semua yang dilindungi oleh kasih sayang hatiku, dan seluruh kaum Muslimin. Semoga Allah memberi rahmat kepada Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Asal Usul Tradisi Rabu Wekasan
Tradisi Rabu Wekasan merupakan tradisi yang hanya ada di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa, seperti yang telah dijelaskan di awal artikel.
Sejarah ini dijelaskan dalam skripsi berjudul “TRADISI REBO WEKASAN DAN RELIGIUSITAS MASYARAKAT DI DESA SUCI KECAMATAN MANYAR KABUPATEN GRESIK” oleh Lilis Cahyati, mahasiswi Program Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun 2021.
Tradisi Rabu Wekasan di Jawa berawal dari kisah pada masa dakwah Sunan Giri di Gresik.
Saat itu, Sunan Giri menugaskan muridnya, Syekh Jamaluddin Malik, untuk menyebarkan Islam di wilayah barat Giri, tepatnya di Kampung Polaman.
Di sana beliau membangun masjid dan pesantren sebagai pusat ibadah dan pendidikan.
Namun, kebutuhan air semakin besar karena jumlah santri dan masyarakat yang belajar semakin banyak.
Atas petunjuk Sunan Giri, Syekh Jamaluddin Malik kemudian mencari sumber air baru.
Akhirnya, pada sebuah hari Rabu terakhir bulan Safar, ia menemukan sebuah mata air jernih di kawasan yang kini disebut Desa Suci.
Mata air itu sangat deras dan suci, sehingga masyarakat menjadikannya sumber kehidupan.
Sejak saat itu, tempat tersebut dinamakan “Suci”, sebab menjadi sarana bersuci lahir dan batin.
Untuk mengenang peristiwa itu, masyarakat mengadakan tasyakuran setiap Rabu terakhir bulan Safar.
Mereka mandi di sendang (padusan), berdoa bersama, bersedekah, dan mendengarkan nasihat agama dari para ulama.
Sunan Giri sendiri berpesan, air tersebut ibarat Zamzam di Mekkah, dan siapa pun yang bersuci serta berdoa dengan khusyuk pada malam Rabu terakhir Safar, insyaAllah doanya akan dikabulkan.
Sejak itulah, masyarakat Jawa mengenal tradisi Rabu Wekasan, bukan sekadar keyakinan akan kesialan di bulan Safar seperti yang diyakini oleh masyarakat Arab Jahiliyah, melainkan sudah diislamkan oleh para wali dengan nuansa doa, syukur, dan ibadah.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.