Minggu, 10 Agustus 2025

Pilpres 2024

Jawaban Almas Tsaqibbirru Apakah Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Cacat atau Tidak

Begini jawaban Almas ketika ditanya apakah putusan MK soal batas usia capres-cawapres cacat secara hukum atau tidak.

Kompas/Fristin Intan
Mahasiswa Universitas Negeri Solo (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru yang mengajukan gugatan syarat usia capres dan cawapres minimal 40 tahun ke Mahkamah Konstitusi. Begini jawaban Almas ketika ditanya apakah putusan MK soal batas usia capres-cawapres cacat secara hukum atau tidak. 

TRIBUNNEWS.COM - Mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru memberikan jawaban terkait gugatannya soal batas usia capres-cawapres yang dikabulkan sebagaian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023) lalu.

Seperti diketahui, gugatan Almas tersebut dikabulkan MK dengan putusan bahwa kepala daerah di bawah 40 tahun dapat menjadi capres atau cawapres.

Namun, menurut beberapa pihak, putusan MK tersebut dinilai cacat secara hukum.

Hanya saja, ketika ditanya oleh Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra terkait hal tersebut, Almas tidak menjawab secara gamblang.

Dia hanya mengatakan cacat atau tidaknya putusan MK soal batas usia capres-cawapres itu dikembalikan ke persepsi masyarakat.

Baca juga: MK Dinilai Rusak Kepercayaan Publik dan Tatanan Hukumnya Sendiri

Almas juga mengungkapkan niat dirinya untuk menggugat Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut untuk menguji ilmu yang didapatnya ketika mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Surakarta.

"Sebenarnya itu tergantung masyarakat (menilai putusan MK cacat atau tidak). Kalau saya ini niatnya ingin dikabulkan."

"Otomatis kan saya ini pengujian ilmu saya ini berhasil dong," katanya dalam wawancara eksklusif yang ditayangkan di YouTube Tribunnews, dikutip pada Minggu (29/10/2023).

Almas juga hanya mengatakan ketika gugatannya soal batas usia capres-cawapres dikabulkan MK, maka memang layak untuk dikabulkan.

Namun, sambungnya, ketika gugatannya ditolak MK, maka gugatan tersebut perlu untuk diperbaiki.

"Jadi gini lho, sifatnya kan di sini saya ingin menguji (ilmu Almas -red). Jadi kan kalau (gugatan) ini diterima (MK) berarti saya bisa."

"Kalau nggak, berarti saya pun harus banyak memperbaiki dalam gugatan tersebut," kata Almas.

Lagi-lagi, Almas tampak tak menjelaskan secara gamblang apakah putusan MK tersebut cacat secara hukum atau tidak.

Dia hanya kembali menegaskan gugatannya itu juga sekadar untuk menguji materil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Kalau bicara soal cacat, itu saya nggak bisa mengatakan iya atau nggak. Kan saya ingin menguji gugatan tersebut, gitu lho," tuturnya.

Putusan MK Ada Unsur Politisasi dan Konflik Kepentingan

Ketua Mahkamah Konsitutsi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi sejumlah Hakim Konstitusi lainnya memimpin sidang pengucapan putusan gugatan batas usia maksimal Capres-Cawapres 70 tahun di ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/10/2023). Dalam putusannya, MK menolak permohonan Pemohon terkait gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden, dengan perkara nomor 107/PUU-XXI/2023 perihal maksimal umur capres-cawapres 70 tahun. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua Mahkamah Konsitutsi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi sejumlah Hakim Konstitusi lainnya memimpin sidang pengucapan putusan gugatan batas usia maksimal Capres-Cawapres 70 tahun di ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/10/2023). Dalam putusannya, MK menolak permohonan Pemohon terkait gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden, dengan perkara nomor 107/PUU-XXI/2023 perihal maksimal umur capres-cawapres 70 tahun. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Seperti diketahui, banyak pihak mengkritik putusan MK soal batas usia capres-cawapres ini.

Salah satunya adalah pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti.

Bivitri mengungkapkan putusan ini sebenarnya tidak mengejutkan dirinya, tetapi cenderung mengecewakan karena mengonfirmasi adanya unsur politisasi di MK.

Bivitri menilai hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hukum (legal reasoning) dari putusan MK.

"Dari tujuh perkara yang diputuskan hari ini (Senin), ada tiga pola yaitu yang pertama batas umur saja (perkara 29/PUU-XXI/2023, (pemohon) PSI); kedua disamakan dengan penyelenggara negara (perkara 51/PUU-XXI/2023 dan 55/PUU-XXI/2023, Partai Garuda dan kepala daerah); dan ketiga disamakan dengan elected officials lainnya termasuk di level daerah," ujarnya ketika dihubungi Tribunnews.com, Selasa (17/10/2023).

Baca juga: Masinton: Putusan MK Mengonfirmasi Skenario Terakhir untuk Ciptakan Calon Boneka

Bivitri menganggap putusan MK dari ketiga perkara ini inkonsisten.

Hal tersebut lantaran ketika satu perkara ditolak dengan alasan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, maka perkara selanjutnya juga harus ditolak dengan alasan yang sama.

"Karena semua perkara itu, pola yang manapun, sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk UU (open legal policy)," ujarnya.

"Memang untuk pola kedua dan ketiga, MK mendalilkan, bisa ada pengecualian untuk open legal policy, yaitu ketidakadilan yang intolerable, tetapi bila dicermati, pokok penalarannya bukan ketidakadilan."

"Kalau soalnya ketidakadilan, bukankah pola pertama juga seharusnya dikabulkan, karena ketidakadilan harusnya juga bisa didalilkan?" sambung Bivitri.

Kemudian, kritik juga disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar.

Dikutip dari laman UGM, Zainal mengatakan putusan MK ini berdampak besar kepada hukum di Indonesia.

Dia mengungkapkan tidak adanya suasana kebatinan yang diungkapkan ketika membuat putusan tersebut.

Ditambah, adanya keterlibatan Ketua MK Anwar Usman dalam putusan tersebut ketika dalam gugatan sebelumnya mengaku tidak pernah terlibat.

"Ada lagi soal perlibatan Ketua MK. Sejak awal ia bilang ia tidak ingin mengambil keputusan karena ada konflik kepentingan, tapi untuk putusan ini dia terlibat,” ungkap Zainal pada Kamis (19/10/2023) dalam diskusi Election Corner.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Artikel lain terkait Pilpres 2024

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan