Pilpres 2024
Alasan 3 Hakim Dissenting Opinion Putusan MK, Netralitas jadi Sorotan Utama di Sengketa Pilpres 2024
Berikut isi dissenting opinion Hakim Saldi Isra, Hakim Enny Nurbaningsih, dan Hakim Arief Hidayat terkait dengan sengketa Pilpres 2024
Penulis:
Galuh Widya Wardani
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
"Namun, secara empirik, pemilu Orde Baru tetap dinilai curang karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak fair, baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan Pemilu, maupun karena faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu," tegas Saldi Isra.
Terkait gugatan Timnas AMIN, Saldi Isra justru melihat gugatan terhadap pembagian bansos dan netralitas pejabat pemerintahan sangat beralasan secara hukum.
Apalagi pembagiannya dilakukan berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu.
"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali."
"Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," kata Saldi Isra.
Terkait dengan netralitas pejabat, Saldi Isra meyakini, telah terjadi ketidaknetralan sebagian perangkat daerah.
"Semua ini bermuara pada terselenggaranya Pemilu yang tidak beritegritas," jelas Saldi Isra.
MK, menurut Saldi Isra, seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.
"Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," ucap Saldi.
Baca juga: Reaksi Kubu Prabowo-Gibran usai MK Tolak Gugatan Anies-Ganjar: Sudah Kami Ramalkan
Isi Dissenting Opinion Arief Hidayat
Senada dengan Saldi Isra, Hakim Arief Hidayat menilai penyelenggaraan Pemilu 2024 kontras jika dibandingkan Pemilu sebelumnya, seperti Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Menurut Arief, dugaan intervensi terasa kuat dari kekuasaan eksekutif yang jelas-jelas mendukung kandidat tertentu.
"Perbedaan ini terletak pada adanya dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya," kata Arief Hidayat dikutip dari TribunSolo.com.
Arief menilai sikap presiden dan aparaturnya yang tidak netral hingga menyebabkan kegaduhan dan hiruk pikuk.
"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," kata Arief.
Termasuk soal Presiden boleh kampanye yang menurutnya tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika sosial.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.