Tak Semua Keturunan Sultan Banten Hidup Bergelimang Harta
Kesultanan Banten sudah runtuh tiga abad silam. Persisnya tahun 1813.
TRIBUNNEWS.COM – Kesultanan Banten sudah runtuh tiga abad silam. Persisnya tahun 1813. Belanda yang menghapuskannya. Tapi keturunan Sultan Banten masih banyak. Mereka bisa dikenali dari nama depan. Tubagus untuk laki-laki dan Ratu untuk perempuan. Tak semua keturunan Raja Banten hidup kaya raya. Di antara keturunan bangsawan itu, ada yang hidup pas-pasan ataupun tanpa pekerjaan tetap.
***
Peziarah tak terlalu bertumpuk di Makam Sultan Maulana Yusuf di Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, Kamis (19/12/2013) selepas asar. Sore itu angin bertiup semilir. Daun-daun pohon jati di sekitar makam pun bergerak tertiup angin.
Tubagus Imron (34), baru selesai membantu membacakan doa bagi peziarah dari Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Ia lalu berkumpul bersama para pengurus makam. Mereka bersila di lantai keramik di teras bangunan makam. Sementara peziarah terus keluar-masuk.
Tubagus Imron bukan satu-satunya keturunan Sultan Banten kumpulan pengurus makam itu. Ada Tubagus Royani (58) yang baru datang. Dia memakai kemeja yang kancingnya terlepas satu, celana bahan semata kaki dan sandal jepit.
Adapula Tubagus Waseh (20) yang bersarung. Waseh juga menunggu apabila ada peziarah yang meminta bantuan.
Mereka bertiga bersaudara. Royani yang paman Imron dan Waseh merupakan generasi ke-17 dari Sultan Maulana Hasanuddin-pemimpin Kesultanan Banten pertama dan berkuasa tahun 1552-1570. Sedangkan Imron dan Waseh masuk generasi ke-18.
Ketiganya masuk dalam struktur pengurus Makam Sultan Maulana Yusuf. Keturunan Sultan Banten memang memiliki tugas mengurus semua peninggalan Kesultanan Banten. Termasuk makam dan keraton yang tersisa di kawasan Banten Lama, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Serang.
Di kawasan tersebut ada empat pusara sultan dan beberapa makam panglima. Paling besar adalah di kawasan Banten Lama, Makam Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa.
***
Tapi kini Imron sedang bingung, sudah hampir dua tahun dia tak punya pekerjaan lain. Sehari-hari Imron hanya datang ke makam, menunggu peziarah yang butuh jasanya. Uang dari peziarah tak seberapa. Tak cukup untuk mengurus tiga anaknya yang masih sekolah. Sebab upah mendoakan itu serela peminta jasa.
“Sebenarnya saya ingin buka warung. Tapi modalnya belum ada sama sekali,” kata Imron kepada Warta Kota.
Lain lagi dengan Royani, kehidupannya kacau karena terlalu sering merantau.
Semasa muda, Royani mengaku, sudah merantau ke kota-kota di Kalimantan dan Sumatera. Dia ikut berbagai proyek pembangunan. Paling banyak Royani ikut proyek pemasangan pipa gas dan pipa PDAM.