Polemik Kalijodo
Alat Kontrasepsi Berserakan di Kalijodo
Mengenakan daster, Marni, perempuan yang lebih dari 10 tahun tinggal di kawasan Kalijodo tengah menyapu dan mengangkat barang
Penulis:
Taufik Ismail
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengenakan daster, Marni, perempuan yang lebih dari 10 tahun tinggal di kawasan Kalijodo tengah menyapu dan mengangkat barang di dalam rumah sekaligus tempat usahanya.
Peluh membasahi mukanya, lantaran ia hanya sendirian membereskan cafe plus-plus yang dibukanya sejak 2002 lalu. "Beres beres mas, tidak ada yang bantuin hanya sendirian," papar Marni kepada Tribun yang menjumpainya di gang RT 4 RW 05 Penjaringan, Jakarta Utara.
Cafe plus-plus yang dimiliki perempuan paruh baya itu tampak berantakan. Sejumlah kabel dari air conditioner (AC) terlihat berserakan. Meja dan kursi plastik posisinya tidak beraturan.
Sejumlah alat kontrasepsi dan pakaian dalam berserakan di lantai bercampur dengan debu.
Sambil membereskan perabotan, Marni menuturkan bahwa tuntutan ekonomi yang membuatnya ia membuka usaha prostitusi tersebut.
Ruangan di rumahnya ia ubah menyerupai bentuk cafe sederhana. Ruang tamu berukuran 5X6 meter ia sulap menjadi lounge. Dinding dari tembok ditempeli poster produk bir, dan kursi plasik berjejer menghadapi meja bar.
Di sebelah kiri ruang tamu tersebut berjejer tiga kamar yang dijadikan tempat praktik esek-esek. Total terdapat empat kamar di tempat usaha Marni. Satu kamar lagi berada tepat di belakang ruang tamu.
Bentuk, isi, dan ukuran setiap kamar hampir serupa. Terdapat satu kasur busa tipis yang diletakan diatas tembok yang menjadi tempat tidur setinggi setengah meter. Tanpa pembatas, di samping kasur terdapat keran air untuk membilas.
Rasa pengap terasa saat memasuki kamar yang dipulas warna oranye tersebut. Selain itu tercium bau apek lantaran tidak ada ventilasi di dalam kamar. Kamar terasa lembab, dengan penerangan lampu bohlam 10 watt. Basah di dinding kamar terlihat jelas.
Marni menurutkan usaha cafe plus-plus terebut merupakan sumber mata pencahariannya selama ini. Ia enggan menyebutkan omzet usahanya. Hanya saja ia menyebutkan usahanya tersebut dapat mencukupi kebutuhan setiap hari.
"Dicukup-cukupi saja untuk bertahan hidup," paparnya.
Marni mengatakan PSK yang bekerja di tempatnya sudah pulang sejak tiga hari lalu. Enam pekerja yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah tersebut dipulangkan lantaran dalam beberapa hari terakhir, tempat usahanya sepi. "Tidak ada tamu yang datang, sepi sementara mereka butuh makan," tuturnya.
Marni mengaku bingung hendak pindah kemana. Ia tidak tahu apakah akan ikut pindah ke Rusunawa yang disediakan pemerintah atau mengontrak di tempat lain. Ia pun mengaku belum tahu usaha apa yang akan dilakukannya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. "Enggak tahu , saya masih pusing," tuturnya.
Sementara itu 200 meter dari tempat usaha Marni, pemilik cafe Wangi juga sedang sibuk membereskan tempat usahanya. Bedanya dengan Marni, pemilik cafe bernama Ari tersebut tidak sendirian memidahkan barang dari tempat usahanya. Dibantu dua pegawainya, ia memindahkan sound dan tv. Sedangkan barang-barang di dalam kamar tidak dibereskan.
Kasur yang berada di lima deretan kamar, tidak ia pindahkan. Kondisi kamar masih berantakan. Terdapat lotion, botol air kemasan, dan kasur lepek yang digeletakkan di lantai. Terdapat pula pakaian dalam bekas yang bergantung di balik pintu kamar.
Ari menuturkan, barang-barang di cafenya ia pindahkan sementara ke tempat kerabatnya. Ia mengaku belum tahu akan menetap dimana setelah digusur dari Kalijodo.
"Belum tahu saya, sementara saya pindahkan ini ke tempat saudara saya di Teluk Gong," katanya.
Sibuknya Gang Kalijodo
Warga yang tinggal di dalam gang Kalijodo RT 04 RW 5, Pejagalan, penjaringan, Jakarta Utara pada Kamis siang (18/12) tampak sibuk. Menggunakan gerobak mereka mengeluarkan barang dari dalam rumah maupun cafe. Kulkas, kasur, dan AC mereka pindahkan secara gotong-royong.
Sambil memindahkan, sebagian dari mereka meneriakan keluhannya. Bahkan ada yang mengatakan jika penggusuran yang dilakukan pemprov DKI Jakarta, secara tidak langsung membuat mereka jadi pengemis. "Usaha hiburan mati, dan kita jadi pengemis," katanya.
Selain itu menurutnya, banyaknya barang bergeletakan di depan cafe, dan banyaknya warga yang memindahkan barang membuat kondisi seperti pengungsi bencana. "Seperti korban banjir ini, semuanya pindahkan barang dan kosongkan rumah," kata warga yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu di depan Wisma Ojolali yang berada di samping jalan Kepanduan II, Kalijodo, lima orang pria yang berprofesi sebagai pegawai cafe sedang berembuk memutuskan rencana setelah terkena penggusuran. Dari lima orang tersebut, dua orang memutuskan kembali berjualan martabak dan sisanya pulang kampung ke Jawa Tengah.
"Saya pernah berjualan martabak, dan sekarang ini susah, sudah banyak yang jualan, bakalan susah," ujar Andi salah seorang pegawai yang memutuskan pulang kampung.
Dari obrolan kelimanya tersebut juga terdengar keluhan terhdap kebijakan penggusuran. Seharusnya menurut mereka apabila pemerintah tetap menggusur, mesti ada ganti rugi yang sepadan.
"Harusnya kita didata dan semua yang di sini dikasih ganti rugi, jadi kita punya modal buat buka usaha," katanya. (tribunnews/fik/val)