Delapan Temuan Lembaga Bantuan Hukum dalam Kasus Rudapaksa Pegawai Kemenkop
Pertama, adanya desakan dari pihak kepolisian agar ND menerima tawaran perdamaian dari pihak pelaku.
Penulis:
Ashri Fadilla
Editor:
Daryono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jawa Barat menemukan setidaknya delapan fakta dalam rangkaian kasus rudapaksa atau pemerkosaan yang dialami oleh mantan pegawai Kementeran Koperasi dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) berinisial ND
Pertama, adanya desakan dari pihak kepolisian agar ND menerima tawaran perdamaian dari pihak pelaku.
Desakan itu disebut LBH APIK berasal dari para penyidik, termasuk dua Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polresta Bgor.
"Serta memfasilitasi perjanjian damai hingga pernikahan antara pelaku dan korban," kata Direktur LBH APIK Jawa Barat, Ratna Bantara Munti dalam keterangan resmi yang diterima Tribunnews.com pada Rabu (23/11/2022).
Baca juga: Kabareskrim: Polri Bakal Buka Kembali Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM
Kedua, para penyidik tersebut juga menyampaikan kepada orang tua ND adanya uang damai yang akan diberikan pihak pelaku. Namun nominal yang diminta, disarankan tim penyidik tidak terlalu besar.
"'Tapi jangan gede-gede ya, pelaku ada yang sampai menjual tanahnya tuh'," kata Ratna menceritakan pernyataan yang dilontarkan penyidik kepada keluarga korban.
Ketiga, tim penyidik juga diduga telah memberkan informasi yang menyesatkan terkait biaya yang mesti dikeluarkan untuk mengurus perkara.
"Kalau mau diproses terus akan lama dan biayanya mahal," ujar Ratna menirukan ucapan penyidik kepada keluarga korban.
Keempat, LBH APIK juga menemukan bahwa orang tua ND tidak diperkenankan mendampingi saat dimintai keterangan.
Dalam keterangan tersebut ada tulisan yang telah disiapkan untuk ditanda tangani korban.
"Penyidik tidak menjelaskan satu per satu isi dari tulisan tersebut. Pada saat itu, korban tidak benar-benar tidak memahami isi dari surat-surat yang disodorkan oleh penyidik."
Kelima, adanya penyerahan uang dari Kanit Polresta Bogor kepada keluarga korban.
Uang tersebut senilai Rp 40 juta dan dimaksudkan untuk biaya perkawinan.
Keenam, adanya penghentian kasus alias SP3 setelah perkawinan korban dengan seorang pelaku.
Padahal pihak korban tidak pernah diberi surat pemberitahuan SP3 oleh Kepolisian.
"Berdasarkan keterangan Kanit yang baru penyidikan telah dihentikan setelah pelapor menikah dengan ZPA," kata Ratna.
Baca juga: Berikut 7 Rekomendasi Tim Independen Kasus Rudapaksa Pegawai Kemenkop UKM
Ketujuh, pihak korban telah meminta bantuan pengacara dari sebuah kantor hukum.
Permintaan bantuan hukum itu disebabkan para tersangka telah ingkar janji dalam perkawinan.
"Tersangka ZPA setelah menikahi pelapor, tidak pernah tinggal bersama sebagaimana layaknya suami istri dan pisah rumah. Atas dasar inilah keluarga korban meminta bantuan pengacara untuk mempertanyakan tindak lanjut dari penyidikan perkara ini," katanya.
Kedelapan, Kanit Polesta Bogor diketahui telah menawarkan uang damai sebesar Rp 50 juta.
Uang damai itu ditawarkannya melalui pengacara pihak korban. Kemudian terjadi komunikasi di antara pihak Kepolisian dengan pengacara korban.
Komunikasi itu pun disebut Ratna menjadi penyebab korban mencabut kuasa atas pengacaranya.
"Komunikasi antara pengacara korban dengan Kanit terjadi karena pengacara kurang memahami keinginan korban agar kepolisian menindaklanjuti laporan. Oleh karena itu, korban mencabut kuasa dengan pengacara tersebut."(*)