Jaksa Agung Digugat
Yusril Hadirkan Empat Saksi Ahli
Hari ini, Kamis (12/8/2010), Mahkamah Konstitusi (MK) akan kembali menggelar sidang uji materil UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Kesaksian Bagir sangat penting, karena dia bukan saja Guru Besar Hukum Tatat Negara (HTN) Universitas Padjadjaran, tetapi juga mantan Ketua MA. Para pakar ini diharapkan akan menjelaskan di manakah letak lembaga Kejaksaan dalam sistem Presidensial UUD 1945, sejak UU No 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan diundangkan sampai lahirnya UU No 16 Tahun 2004, dan berapa lamakah jabatan jaksa agung itu.
"Saya yakin para guru besar dan pakar HTN akan menyokong pendapat saya di persidangan besok," kata Yusril, Kamis pagi (12/8/2010).
Katanya, jabatan Jaksa Agung sejak tahun 1959 selalu dikaitkan dengan pembentuakan kabinet. Jaksa Agung dilantik di awal kabinet dan berhenti demi hukum dengan bubarnya Kabinet. Ini telah menjadi konvensi ketatanegaraan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad lamanya. Yusril mengutip pendapat Prof Bhenyamin Hoessein yang mengatakan konvensi ketatanegaraan seperti itu.
Menurutnya, konvensi ketatanegaraan kedudukannya lebih tinggi daripada Keputusan Presiden, sehingga kedudukan Hendarman sebagai Jaksa Agung setelah bubarnya KIB I tanggal 20 Oktober 2009 adalah illegal atau tidak sah. Ketika ditanya, apakah dia menyadari ilmpikasnya kalau putusan MK nanti mengabulkan permohonannya, Yusril mengatakan dia menyadari bahwa akibat hukumnya ialah seluruh tindakan aparatur Kejaksaan sejak 20 Oktober 2009 adalah batal demi hukum.
"Ini adalah resiko dari sebuah keteledoran mengelola negara dari orang-orang yang tidak profesional. Yang paling bertanggungjawab adalah Presiden SBY. Masak dia membiarkan ada Jaksa Agung Illegal dibiarkannya menjalankan tugas dan kewenangan, Padahal Indonesia adalah negara hukum," kata Yusril.
Yusril juga meralat pemberitaan berbagai media bahwa MK telah menolak permohonan provisi dalam sidang sebelumnya.
"Tidak ada itu", kata Yusril. "Kalau MK nolak, maka penolakan itu tertuang dalam putusan tertulis disertai pertimbangan hukumnya."
Dalam sidang yang lalu, Ketua MK Machfud hanya mengatakan "belum saatnya MK mengabulkan permohonan provisi" dan MK akan melihat perkembangan jalannya sidang, sehingga dapat menyimpulkan apakah perlu ada putusan provisi apa tidak.