Pemalsuan Putusan MK
10 Jam Diperiksa, Arsyad Sanusi Boleh Pulang
Seusai menjawab sekitar 25 pertanyaan penyidik dalam sembilan jam, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arsyad Sanusi
Penulis:
Abdul Qodir
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seusai menjawab sekitar 25 pertanyaan penyidik dalam sembilan jam, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arsyad Sanusi bisa menyudahi pemeriksaan kasus surat palsu MK di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (15/7/2011) malam.
Arsyad yang datang sekitar pukul 09.30 WIB, baru bisa keluar dari Bareskrim sekitar pukul 19.30 WIB. "Saya diperiksa tim penyidik yang kurang lebih 20 sampai 25 pertanyaan, saya sudah jawab," kata Arsyad seusai pemeriksaan didampingi putrinya, Neshawati.
Arsyad mengaku ditanya penyidik soal pertemuannya dengan mantan juru panggil yang kini menjadi tersangka MK Mashuri Hasan, pertemuannya dengan mantan panitera MK Zaenal Arifin Husain, dan pertemuannya dengan Ketua MK Mahfud MD.
"Penyidik menanyakan juga bagaimana hubungan saya dengan Dewi Yasin Limpo (pihak berpakara di MK/red), dan lainnya. Masruri Hasan, Fais (staf MK) dan lainnya. Dan saya sudah jelaskan semuanya," beber Arsyad.
Meski namanya disebut-sebut dalam kasus ini, Neshawati memilih tak banyak bicara soal kasus ayahnya. "Saya tidak ditanya apa-apa. Karena saya tidak terlibat," katanya.
Kasus dugaan pemalsuan surat MK itu berawal pada Agustus 2009. Pada 14 Agustus 2010, KPU mengirimkan surat kepada MK untuk menanyakan pemilik kursi DPR di Dapil I Sulawesi Selatan, yang diperebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Mestariani Habie dari Partai Gerindra.
Lalu, MK mengirimkan surat Nomor 112/PAN MK/2009 Tanggal 17 Agustus 2009, yang berisi penjelasan bahwa pemilik kursi yang ditanyakan KPU jatuh kepada Mestariani Habie. Anehnya, rapat pleno KPU justru memutuskan bahwa kursi tersebut diberikan kepada Dewi Yasin Limpo, dengan landasan surat MK, 112/PAN MK/2009 Tanggal 14 Agustus 2009, yang diterima melalui mesin faksimili.
Setelah diinvestigasi, MK mengetahui bahwa surat MK tertanggal 14 Agustus 2009 yang dipakai KPU untuk memutuskan Dewi Yasin Limpo sebagai pemegang kursi DPR tersebut adalah palsu.
Pada 12 Februari 2010, pihak MK menyerahkan surat aduan ke Bareskrim dengan menyebutkan nama Andi Nurpati. Belakangan Mahfud MD, mengungkapkan dugaan keterlibatan sejumlah nama pemalsuan surat MK ini, seperti Arsyad Sanusi, Masyhuri Hasan, dan Dewi Yasin Limpo.
Sejak dimulai penyelidikan pada Mei 2011, Bareskrim baru menetapkan seorang tersangka, yakni Masuri Hasan pada 28 Juni 2011.
Sebelum itu, Bareskrim menyatakan ada tiga kelompok yang diduga bermain dalam kasus ini, yakni pembuat, pengguna, dan pemberi ide atau konsep surat palsu MK. Dan Mashuri Hasan masuk dalam kategori diduga sebagai pembuat surat palsu MK.