Pemalsuan Putusan MK
Astaga, Kasus Pemalsuan Surat MK Kurang Bukti
Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman mengakui kasus ini tidak begitu mudah. Bukti rekaman komunikasi telah hilang.
Penulis:
Ferdinand Waskita
Editor:
Ade Mayasanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mabes Polri mengaku masih terus menangani kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi. Namun hingga kini kasus tersebut hanya melibatkan dua nama yakni mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesein dan mantan juru panggil MK Masyhuri Hasan.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman mengakui kasus ini tidak begitu mudah. Pasalnya, bukti rekaman komunikasi dengan orang-orang yang dicurigai telah hilang. Padahal dari situlah, polisi dapat menentukan siapa yang terlibat dalam kasus pemalsuan surat MK.
"Karena buktinya melalui ada yg melalui komunikasi telepon, sudah dua tahun. Waktu dua tahun begitu, setelah kita taping sudah hilang. Susah itu, komputer yang kita kloning juga datanya sudah hilang," kata Sutarman di sela-sela diskusi hukum PDIP, Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (10/2/2012).
Jenderal bintang tiga itupun mengaku berkas Zainal Arifin masih di Kepolisian setelah belum dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung.
"Kalau Zainal Arifin buktinya masih belum cukup jadi dikembalikan. Kalau buktinya cukup, siapapun juga akan kita usut. Masih belum ada tersangka baru. Jadi bukan tidak ada tersangka baru tapi memang belum ditetapkan lagi," ujarnya.
Diketahui, Mashuri ditangkap di Bandung, Jawa Barat, atas tuduhan pemalsuan surat MK, pada 30 Juni 2011. Ia disangkakan membuat surat palsu MK Nomor 112/MK.PAN/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009, surat yang sempat dipakai KPU untuk memenangkan caleg Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, berhak mendapat kursi DPR RI di Dapil Sulsel I.
Sejauh ini, baru mantan panitera MK, Zaenal Arifin Hoesein yang menjadi tersangka baru kasus ini, dengan sangkaan menjadi konseptor atas penulisan redaksional 'penambahan suara' pada surat palsu MK.