Hari Ini DPR Gelar Rapat Paripurna RUU tentang PKS
Rabu (11/4/2012) hari ini DPR akan menggelar Rapat Paripurna penetapan terhadap tiga Rancangan Undang-undang
Penulis:
Abdul Qodir
Editor:
Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rabu (11/4/2012) hari ini DPR akan menggelar Rapat Paripurna penetapan terhadap tiga Rancangan Undang-undang (RUU) di Gedung DPR, Jakarta. Satu di antaranya, yakni RUU yang akan ditetapkan menjadi UU dan terbilang krusial itu adalah RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS), dan Pendidikan Tinggi.
"Agenda Rapat Paripurna besok (hari ini), ada RUU pemilu, RUU Pendidikan Tinggi dan Penanganan Konflik Sosial (PKS). Ada juga agenda lainnya, tapi yang utama ketiga RUU itu. Agenda rapatnya mulai pukul 10.00 WIB," kata Ketua DPR, Marzuki Alie, saat dihubungi Selasa (10/4/2012) malam.
Rapat Paripurna yang meminta persetujuan 560 anggota DPR untuk RUU PKS menjadi UU itu, sebenarnya telah diagendakan beberapa kali sebelumnya. Namun, terpaksa ditunda karena beberapa alasan.
Pada Rapat Paripurna, Selasa (3/4/2012) lalu, pimpinan rapat Priyo Budi Santoso, menyatakan penundaan penetapan RUU PKS, karena masih menimbulkan perbedaan penafsiran di antara sebagian anggota DPR sehingga perlu ada perbaikan.
Pada rapat paripurna itu, terjadi saling interupsi di antara anggota DPR RI yang memperdebatkan subtansi beberapa pasal di RUU PKS tersebut kendati telah disepakati di tingkat panitia khusus (Pansus) sebelumnya. Di antaranya, keberadaan Pasal 34 dan Pasal 35 tentang kewenangan pemerintah daerah setingkat bupati/walikota yang dapat mengerahkan TNI untuk menangani sebuah konflik sosial. Sebagian anggota DPR menyatakan kedua pasal ini bertentangan dengan undang-undang lain serta bertentangan dengan semangat reformasi.
Pasal 34 ayat (1) berbunyi, "Dalam status keadaan konflik skala kabupaten/kota, bupati/walikota berwenang meminta pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI melalui forum koordinasi pimpinan daerah kabupaten/kota".
Kemudian, pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Pelaksanaan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 dikoordinasikan oleh Polri".
Selain itu, beberapa anggota DPR juga mempermasalahkan keberadaan Pasal 53 tentang keterlibatan asing dalam menangani pascakonflik. Sebab, Indonesia adalah negara berdaulat dan keberadaan pihak asing hanya dimungkin jika Indonesia terjadi bencana seperti tsunami, bukan saat konflik.
Protes juga dilayangkan dari luar Senayan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pengesahan RUU PKS dari DPR ini dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan kelompok sipil. KonstraS memandang pengabaian masukan masyarakat sipil dalam berbagai ruang pertemuan dengan DPR, adalah wujud pengingkaran mandat rakyat itu sendiri.
KonstraS juga mempermasalahan beberapa pasal di RUU PKS yang berpotensi mencederai jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) warga Indonesia.
Di antaranya, longgarnya definisi konflik sosial, dengan mencampuradukkan terma konflik sosial dengan tawuran antar kampung, namun melupakan dimensi konflik seperti kesukuan, etnis, bahkan agama.
Terjadi pula kecerobohan DPR untuk memasukkan Pasal 7 tentang ukuran memelihara kondisi damai, dengan menggunakan definisi Pasal 5 tentang sumber konflik sosial. Hal ini adalah contoh kemalasan anggota DPR untuk memeriksa produk perundang-undangan/kebijakan lain yang terkait dengan kebijakan pengelolaan tanah dan sumber daya alam, isu perburuhan, penanganan kemiskinan, jaminan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan (termasuk di dalamnya larangan tentang syiar kebencian).
Pasal 8 tentang pengembangan penyelesaian perselisihan secara damai, dengan mengedepankan mekanisme "Alternative Dispute Resolution" (ADR), sebaiknya tidak meminimalisir proses penegakan hukum (law enforcement) dengan berpegangan pada prinsip "rule of law", di mana untuk praktik kejahatan-kejahatan serius, negara wajib hukumnya untuk menyeret para pelaku ke meja pengadilan demi tegaknya rasa keadilan.
KontraS juga memperdebatkan Pasal 34 dan Pasall 35 RUU PKS ini. Keberadaan kedua pasal itu menunjukan Indonesia masih berantakan dalam menempatkan ruang koordinasi antar sektor keamanan. Hadir kesan sektor keamanan diberikan kewenangan serta merta melalui keputusan politik lokal dari kepala daerah. Dikhawatirkan ini dapat digunakan untuk kepentingan dan motif tertentu, seperti pilkada.
Pembatasan dan pelarangan hak asasi manusia yang bisa diterapkan dalam Pasal 25 juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik/KIHSP (diratifikasi dengan UU 12 tahun 2005 tentang Pengesahan KIHSP).
Dengan alasan-alasan itu, KontraS. Mengkhawatirkan, UU PKS yang diproduksi DPR ini akan menimbulkan ketidaksempurnaan yang serius secara konstitusional dan berbenturan dengan UU lainnya seperti UU KUHP, KUHAP dan UU bidang Keamanan (UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. (Abdul Qodir)