Bom di Tambora
Densus 88 Membuat Nenek Waenah Menangis
Keempat putranya, yakni Ahmad Saekun (35), Agus Abdillah (33), Muhammad Amaluddin (28), dan Muhammad Amirudin (27).
Penulis:
Abdul Qodir
Editor:
Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Sejak sang suami meninggal dunia karena sakit 18 tahun lalu, Waenah sudah banting tulang agar bisa menghidupi dan membiayai sekolah keempat putranya.
Keempat putranya, yakni Ahmad Saekun (35), Agus Abdillah (33), Muhammad Amaluddin (28), dan Muhammad Amirudin (27).
Ahmad Saekhun dan Amirudin sudah menikah dan bekerja sebagai mekanik di perusahaan berbeda di kawasan industri Cibitung Bekasi. Sementara, Agus bekerja sebagai teknisi telepon genggam (hp) dan Amaludin bekerja berpindah-pindah di Tangerang, namun keduanya belum menikah.
Kini, memasuki usia senjanya ke-54 tahun dan keempat putranya sudah tumbuh dewasa, Waenah masih mempunyai prinsip untuk tidak meminta belas kasih dari orang lain, termasuk dari putranya.
Kini, ia menjadi pedangan nasi uduk dan kue keliling dengan sepeda di Perumahan Mutiara Gading Rievera, Tambun Utara, Bekasi, Jawa Barat.
Sejak pindah dari kawasan Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, dan menempati rumah di Blok E2 nomor 33 RT 06/09 komplek perumahan itu sejak dua tahun lalu, warga sekitar memanggil perempuan asal Tegal itu dengan panggilan 'Nenek Waenah'.
Senin (18/7/2012) sekitar pukul 18.30 WIB atau tak lama setelah adzan Maghrib, Nenek Waenah kaget bukan kepalang lantaran pintu rumahnya digedor sejumlah pria berbadan tegap mengenakan seragam cadar serba hitam dan memegang senjata api laras panjang.
Menurut Waenah, padahal Amirudin hendak menunaikan ibadah Salat Maghrib saat penangkapan itu. "Amir mau salat di rumah. Dia bilang, 'Emak saya salat dulu, soalnya airnya enggak ada'. Tiba-tiba polisi gedor pintu, lalu saya buka gorden baru buka pintu, polisi langsung pada masuk," ujar Waenah di kediamannya, Selasa (18/9/2012).
Para polisi yang biasa disebut Detasemen Khusus Antiteror (Densus AT 88) Polri minta Waenah tak banyak bicara sesaat pintu dibuka dan langsung mengungsikannya ke rumah Ketua RT setempat, Basroni.
"Waktu polisi masuk, saya tanya, mau cari siapa, saya langsung dibentak, sudah diam saja. Kalau mau makan, makan saja sana. Terus, saya disuruh keluar ke tempat Pak RT," ujar Waenah menirukan perkataan seorang petugas Densus 88.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Waenah kaget melihat putra bungsunya, Amirudin, dengan tangan terikat sudah diangkut ke mobil polisi. Waenah pun langsung berteriak dan menangis melihat anaknya digelandang polisi.
Waenah minta anaknya dibebaskan, karena ia yakin Amirudin tidak bersalah atas kasus apapun. Namun, permintaan itu tak dipenuhi dan polisi beralasan hanya ingin meminta keterangan kepada Amirudin.
"Saya langsung teriak ke Pak polisi, sudah pak, saya saja yang ditangkap. Kalau bisa saya saja yang dimintai keterangan, soalnya Amir enggak tahu apa-apa. Kan yang tahu apa-apa itu saya orangtuanya, kenapa si Amir yang ditangkap," ucap Waenah.
Waenah mengaku sore itu sempat meminta kepada polisi untuk memberikan izin Amir melaksanakan ibadah salat maghrib di rumah, namun tetap tak dipenuhi.
Rasa sayang Waenah tetap ada kendati mobil yang mengangkut Amir mau meninggalkan lokasi.