Ratu Atut Tersangka
Golkar Tak Perlu Berlebihan Membela Atut
KPK telah menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam dua kasus korupsi sekaligus
TRIBUNNEWS.COM - Penetapan Gubernur Banten Ratu Atus Chosyiah sebagai tersangka dan penahanannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diperkirakan dapat berpengaruh menurunkan perolehan suara Partai Golkar, khususnya di Banten. Karena itu, elite partai tersebut jangan membela Atut secara berlebihan, melainkan perlu mendorong dan menghargai proses hukum di KPK.
”Golkar perlu merespons kasus Atut secara profesional dan proporsional. Partai ini tak perlu melakukan defence mechanism (mekanisme bertahan), tapi perlu menjelaskan kepada publik tentang ketidakterlibatannya dalam semua kasus yang disangkakan ke Atut,” kata peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R Siti Zuhro, di Jakarta, Senin (23/12).
KPK telah menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam dua kasus korupsi sekaligus, yaitu suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait dengan sengketa Pilkada Lebak serta korupsi dalam pengadaan alat kesehatan Banten.
Setelah diperiksa sebagai tersangka, Jumat pekan lalu, Atut langsung ditahan di KPK di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Selain sebagai Gubernur, Atut juga adalah Ketua Bidang Perempuan di Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar dan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar.
Siti Zuhro mengatakan, legitimasi partai politik ditentukan kinerja dan perilakunya yang ditujukan kepada publik. Semakin bagus kinerja dan perilaku partai, itu akan semakin meningkat pula elektabilitas dan legitimasinya.
Bukti empirik juga menunjukkan, parpol yang kader-kadernya bermasalah dengan hukum dan melanggar etika akan kurang dipercaya rakyat.
Gencarnya pemberitaan media tentang kader Golkar yang melanggar etika dan hukum menjelang Pemilu 2009 menyebabkan elektabilitas partai itu melorot dan kalah. Tak tertutup kemungkinan hal serupa akan terulang kembali pasca-penahanan Atut.
Praktik politik kekerabatan atau dinasti politik di Provinsi Banten dan penyimpangan-penyimpangan selama ini membuat publik terpengaruh dan kecewa.
Kekecewaan tak hanya melanda dan dirasakan masyarakat Banten, tetapi juga masyarakat yang menyaksikan televisi, koran, dan media sosial. Karena itu, dampaknya bisa jadi akan meluas. Jelas, dampaknya dirasakan secara langsung oleh Atut dan keluarga besarnya. Namun, bukan berarti pengaruh itu tidak dirasakan Golkar.
”Semakin gencar media memberitakan kasus korupsi Atut, akan semakin negatif respons masyarakat Banten, khususnya terhadap Atut dan keluarganya. Keberadaan Atut sebagai elite Golkar akan berpengaruh terhadap partai ini,” katanya.
Karena itu, Golkar perlu merespons kasus Atut dengan menerangkan ketidakterlibatan partai dalam kasus korupsi dan berbagai penyimpangan Atut. Bila secara institusi Golkar tidak terlibat, publik akan memisahkan kasus Atut dan partai yang menaunginya.
Pengurus atau pimpinan partai ini perlu menyampaikan kepada publik agar kasus Atut tidak berdampak negatif terhadap elektabilitasnya.
Tiga identitas
Secara terpisah, pengajar psikologi sosial-politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mengungkapkan, sebenarnya Atut memiliki tiga identitas penting, yaitu sebagai pimpinan dinasti politik yang berkuasa di Banten, Gubernur Banten, dan sebagai pimpinan DPP Partai Golkar.
Namun, publik lebih mengaitkan kasus korupsi dan penyimpangan kekuasaan Atut sebagai pemimpin dinasti politik dan Gubernur Banten daripada elite Golkar.
Belum terlalu banyak publik, apalagi di daerah-daerah lain di luar Banten, yang menghubungkan perkara korupsi Atut dengan posisinya sebagai elite Partai Golkar.
Kondisi itu berbeda dengan kasus korupsi yang melibatkan Angelina Sondakh (Angie) dan Muhammad Nazaruddin, yang langsung dikaitkan dengan Partai Demokrat.
Soalnya, publik mengenal kedua terpidana korupsi itu dengan identitas tunggal, yaitu sebagai kader Demokrat yang menjadi anggota DPR. Dampak negatif itu semakin parah akibat konflik internal di partai tersebut.
Kasus Atut berbeda dengan kasus Angelina Sondakh dan Nazaruddin. Golkar tidak sedang dilanda konflik internal dan memiliki mesin partai yang baik untuk menepis dampak negatif dari kasus Atut.
”Namun, sebaiknya pimpinan Golkar tak terlalu membela Atut secara berlebihan. Jika media terus menyebarkan berita kasus korupsi Atut dan mengaitkannya dengan Golkar, lama-lama publik akan menyadarinya,” katanya.(Ilham Khoiri)
 
							 
							 
							 
			 
				
			 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
											 
											 
											 
											