Abdullah Hehamahua: Jokowi Terancam Tak Dipilih Lagi Jika Setujui Revisi UU KPK
Presiden Jokowi terancam tak dipilih lagi dalam Pilpres 2019, jika pemerintah bersama DPR betul-betul menggolkan revisi UU KPK yang bisa bikin lemah.
Editor:
Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo terancam tak dipilih lagi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, jika pemerintah bersama DPR merevisi Undang-Undang KPK yang pada ujungnya membuat KPK lemah.
Pernyataan itu dilayangkan mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua. Ia mengkritisi sejumlah poin yang akan ditinjau dalam revisi UU KPK. Rakyat, kata Abdullah, akan memberi sanksi kepada pemerintah maupun DPR.
"Sanksinya pemilukada, rakyat bisa beri sanksi. Calon bupati, dan lain-lain tidak dipilih lagi. Jokowi 2019 tidak dipilih lagi," kata Abdullah di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2015) malam.
Poin yang disorot Abdullah terkait kewenangan penyadapan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, agar tidak melanggar HAM, kewenangan penyadapan hanya ditujukan kepada pihak yang telah diproses projustitia atau melalui mekanisme hukum.
"Pejabat publik tidak ada privasi. Rakyat berhak tahu. Seseorang disadap kalau sudah ada indikasi korupsi," kata Abdullah.
Penyadapan tersebut juga tidak disebarluaskan secara bebas saat masih dalam tahap penyelidikan mau pun penyidikan, hanya ditangani oleh bagian penindakan. Menurut Abdullah, pemerintah semestinya belajar dari Inggris terkait penyadapan yang tidak melanggar HAM, bukan dengan memangkas kewenangan KPK.
"Orang boleh bilang (penyadapan) melanggar HAM atau tidak, menurut saya tidak," kata Abdullah.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengajukan revisi UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional 2015. Ia menilai pelaksanaan UU KPK masih menimbulkan masalah sehingga mengganggu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Undang-undang ini sudah masuk dalam long list Prolegnas 2015-2019 sebagai inisiatif DPR dan perlu didorong untuk dimajukan sebagai prioritas 2015," kata Yasonna.
Setidaknya, ada lima peninjauan yang harus dilakukan dalam revisi UU KPK ini. Pertama, kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM, yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Kedua, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung.
Ketiga, dewan pengawas perlu dibentuk untuk mengawasi KPK dalam menjalankan tugasnya. Keempat, perlu ada pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan. Kelima, mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.
Namun, Yasonna kemudian membantah pemerintah yang berinisiatif melakukan revisi. Menteri yang berasal dari PDI Perjuangan ini kemudian mengatakan bahwa sebenarnya Dewan Perwakilan Rakyat yang menginginkan adanya revisi terhada UU KPK. (Kompas.com/Ambaranie Nadia Kemala Movanita)