Rabu, 27 Agustus 2025

Soal UU KPK, Pemerintah dan DPR Harus Buat MoU

MoU itu berisikan tentang penyadapan dan penuntutan tidak diganggu gugat

Tribunnews.com/Taufik Ismail
Konferensi Pers Indonesia Corruption Watch mengenai revisi UU KPK, di Jalan Kalibata Timur IV D nomor 6, Jakarta Selatan, Minggu (21/6/2015). ICW mendesak tidak direvisinya UU KPK Nomor 30 tahun 2002. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua menyarankan adanya nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MoU) antara pemerintah dan DPR terkait UU KPK.

MoU itu berisikan tentang penyadapan dan penuntutan tidak diganggu gugat.

"Kemudian penguatan, penyelidik, penyidik, penuntut umum. Itu harus ada pasal yang menjelaskan eksplisih bahwa KPK berwenang mengangkat penyidik, penyelidik, penuntut umum di luar kepolisian dan kejaksaan, jadi bisa siapa saja," kata Abdullah di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (7/7/2015).

Hal itu dilakukan agar tidak terjadi lagi praperadilan yang mempersoalkan status penyidik KPK. Abdullah menilai UU KPK untuk sementara ini tidak perlu diutak-atik hingga revisi KUHAP dan KUHP selesai. Pasalnya induk dari UU KPK dalah KUHAP yang merupakan sistem hukum secara nasional.

"Sudah KUHAP selesai baru diturunkan dalam hukum acara, baru kemudian UU lain, UU Kepolisian, Kejaksaan, UU KPK, seperti itu . Tetapi dalamm sistem hukum kita ada yang namanya lex specialis," kata Abdullah.

Ia mencontohkan penyadapan yang dalam UU KUHAP menyebutkan harus seizin pengadilan negeri. Namun, dikarenakan KPK memiliki kekhususan maka terdapat pengecualian dimana penyadapan tidak perlu izin pengadilan negeri.

Selain itu, dalam KUHAP, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Karena KPK merupakan lex specialis maka tidak perlu melalui kejaksaan. Tetapi langsung KPK melakukan penuntutan sendiri sehingga membuat biaya murah.

"Penyidik penyelidik penuntut jadi satu, itu murah kalau misalnya kepolisian datang ke kejaksaan maka ada P19, ulang alik baru ke P21 itu butuh berapa banyak biaya yang dikeluarkan dan waktu, kalau di KPK cuma butuh satu bulan karena dalam satu ruangan, satu meja seperti itu tentang penuntutan," ujarnya.

Abdullah juga menyoroti permasalahan penyadapan. Dimana penyadapan KPK diaudit. Saat menjabat sebagai Sekretaris Tim Audit Penyadapan tahun 2007, Abdullah mengetahui adanya audit tersebut.

"Saya sekretaris pertama mengaudit penyadapan, jadi tidak bisa seenaknya saja KPK menyadap, harus ada indikasi tipikor, harus disetujui atasan langsung, kemudian minimal dua orang pimpinan menyetujui baru bisa menyadap. Penyadapan juga punyaketentuaannya, tidak boleh ditranskrip yang bukan berkaitan dengan korupsi, harus korupsi. Jadi aturan sudah jelas," ujarnya..

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan