Pemilu dan Referendum Adalah Dua Hal Berbeda
Prinsip pemilihan umum (Pemilu) berbeda dengan prinsip referendum menurut Kordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw.
Editor:
Gusti Sawabi
Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prinsip pemilihan umum (Pemilu) berbeda dengan prinsip referendum menurut Kordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw.
Pemilu prinsipnya memilih pemimpin, sedangkan referendum prinsipnya adalah jajak pendapat untuk menentukan suatu hal.
"Saya kira, agak membingungkan. Jadi kurang tepat saya kira kalau pemilu atau Pilkada diubah menjadi referendum. Ada kekeliruan substansi putusan ini," kata Jeirry Sumampouw saat dihubungi TRIBUNnews.com.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan referendum tersebut, dalam putusannya terkait uji materi atas undang-undang (UU) nomor 8 tahun 2015, tentang Pemilu kepala daerah (Pilkada) serentak. Dalam UU tersebut tidak diatur soal sekenario calon tunggal, dan hal itu bertentangan dengan UU Dasar 1945.
MK mengeluarkan kebijakan soal referendum, di mana masyarakat yang hanya disuguhkan calon tunggal, akan memilih setuju atau tidak bila sang calon menjabat sebagai kepala daerah. Proses tersebut serupa dengan gagasan Bumbung Kosong yang pernah diusulkan sebelumnya, di mana calon tunggal melawan kotak kosong.
Jeirry Sumampouw menilai tidak seharusnya Pilkada digelar hanya dengan satu pasangan calon. Ia mengaku tidak setuju dengan konsep Pilkada yang hanya menyuguhkan satu pasangan calon kepada masyarakat.
Namun demikian ia akui putusan MK bersifat final dan mengikat. Semua pihak kata dia suka atau tidak suka harus menerimanya dengan lapang dada. Ia akui, sulit untuk menentang putusan soal referendum.
"Kalau soal itu, memang agak sulit kalau dari sisi masyarakat. Sebab putusan MK mau tidak mau harus dilakukan," terangnya.