2 Tahun Jokowi dan JK
KMP Gabung, Kebijakan Jokowi-JK Mulus di Parlemen
emerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama dua tahun ini semakin menancapkan kukunya di parlemen. Seluruh kebijakan mulus di DPR RI
Penulis:
Ferdinand Waskita
Editor:
Yulis Sulistyawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla semakin menancapkan kukunya di parlemen. Pemandangan itu tergambar selama Presiden Jokowi memimpin negeri ini.
Bergabungnya partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP) kepada pemerintah membuat kebijakan Jokowi-JK terbilang mulus di parlemen.
Di mulai dari perpecahan PPP antara kubu Romahurmuziy dan Djan Faridz. Kubu Romahurmuziy yang memimpin partai berlambang Ka'bah itu akhirnya bergabung dengan pemerintah serta menempatkan kadernya Lukman Hakim Syaifudin di posisi Menteri Agama.
Tak lama setelah itu, PAN yang dipimpin Zulkifli Hasan juga menyatakan dukungannya kepada pemerintah.
Padahal, Ketum PAN sebelumnya Hatta Rajasa merupakan calon wakil presiden yang mendampingi Ketum Gerindra Prabowo Subianto.
Presiden Jokowi akhirnya memberikan satu kursi Menpan RB kepada Asman Abnur yang tak lain menjabat sebagai Waketum PAN.
Terakhir, Partai Golkar berubah halauan saat masa transisi Aburizal Bakrie kepada Setya Novanto.
Setelah perpecahan kedua partai yang cukup lama antara kubu Bali dan kubu Ancol, Golkar mengadakan rekonsiliasi dan menyatakan dukungan kepada pemerintah.
Bahkan dibawah kepemimpinan Setya Novanto, partai berlambang pohon beringin itu telah menyatakan dukungan kepada Joko Widodo sebagai calon presiden pada pemilu 2019.
Peneliti Forum Masyarakan Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengakui kekuatan oposisi di parlemen melempen.
Praktis kekuatan oposisi kini hanya ditopang oleh Gerindra dan PKS.
"Perubahan peta kekuatan di parlemen yang terjadi setelah Golkar, PAN, dan PPP memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah mengakibatkan koalisi pendukung pemerintah menjadi kekuatan mayoritas di parlemen," kata Lucius kepada Tribunnews.com.
Komposisi kekuatan baru yang terbentuk menghasilkan 386 kursi DPR menjadi pendukung pemerintah.
Tercatat, hanya 113 kursi di kelompok oposisi serta 61 kursi Demokrat yang sikapnya tidak jelas sikap politiknya diantara koalisi dan oposisi.
Lucius Karus mengatakan perpindahan partai-partai yang semula menjadi oposisi ke koalisi pendukung pemerintah praktis mengakibatkan melemahnya kekuatan kelompok oposisi di parlemen.
Lucius Karus melihat Gerindra dan PKS yang masih bertahan sebagai oposisi tak cukup militan untuk menjadi penyeimbang yang signifikan terhadap kelompok pendukung pemerintah.
"Mestinya kelompok oposisi tersebut masih bisa berbicara banyak walau dengan komposisi kursi yang sedikit, jika saja mereka konsisten menjadi penyambung lidah rakyat setiapkali DPR akan melakukan pembuatan keputusan," kata Lucius Karus.
Sayangnya, Lucius Karus mengatakan peran itu juga tidak maksimal dimainkan oleh Gerindra dan PKS. Mereka lebih cenderung menjadi kritikus pemerintah dengan strategi-strategi 'menyerang total', sehingga lupa dengan rakyat yang menjadi kekuatan sesungguhnya.
Suara-suara oposisi parlemen ini justru kerap berlawanan dengan suara publik kebanyakan.
Hal itu tentu saja membuat oposisi parlemen menjadi semakin lemah karena tak mendapat dukungan signifikan dari publik ketika berhadap-hadapan dengan pemerintah," jelas Lucius Karus.
Ia mencontohkan usulan revisi UU KPK. Dalam isu tersebut, kelompok oposisi gagal membangun kekuatan suara rakyat. Hal itu terjadi ketika sebagian dari mereka malah berlawanan dengan keinginan rakyat untuk mempertahankan UU KPK serta institusi KPK saat ini.
"Sejumlah politisi dari kelompok oposisi menjadi corong bagi penggerusan dan penghapusan KPK, sesuatu yang bertentangan dengan semangat publik kebanyakan yang ingin memperkuat KPK," tutur Lucius Karus.
Padahal ide merevisi UU KPK muncul dari pemerintah, sesuatu yang mestinya bisa menjadi momentum penguatan oposisi di parlemen jika mereka bersekutu dengan publik saat itu.
Selain itu, Lucius melihat kelompok oposisi di parlemen juga tidak kuat dalam membangun konsep dan wacana untuk mengimbangi konsep dari kelompok pendukung pemerintah.
Akibatnya yang muncul dari oposisi hanya sebatas kritik yang kadang kontaproduktif karena tidak disertai dengan konsep-konsep tandingan yang meyakinkan.
"Ini membuat kelompok oposisi tak punya bargaining dalam konstelasi pembuatan keputusan parlemen. Mereka nampak tidak siap dan gagap setiapkali mencoba mengkritisi program pemerintah," jelas Lucius Karus. (Ferdinand Waskita)