Demo di Jakarta
Fahri Hamzah Dilaporkan ke Polisi Dianggap Berniat Makar Saat Demo 4 November
Ucapan Fahri pada demo 4 November 2016 lalu itu dianggap sarat dengan provokatif, sehingga memicu massa pendemo
Editor:
Hendra Gunawan
Polisi Pelajari
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan akan mempelajari orasi Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dalam aksi unjuk rasa 4 November. Tito Karnavian mengatakan, akan mempelajari apakah pernyataan Fahri Hamzah dalam orasi kemarin bisa masuk dalam kategori makar atau tidak.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dalam orasinya pada aksi unjuk rasa 4 November lalu mengatakan, menjatuhkan presiden itu ada dua cara. Pertama, lewat parlemen ruangan, dan kedua, lewat parlemen jalanan.
Fahri Jelaskan Soal Makar
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah merespon pelaporan Bara JP yang melaporkannya ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindakan penghasutan juga makar dalam orasinya pada demonstrasi 4 November kemarin. Ia mempertanyakan banyak hal terkait pelaporan terhadapnya tersebut.
"Patut disayangkan, banyak nasihat yang masuk kepada presiden tidak memahami peta konstitusi dan UU pasca amandemen ke-4. Hal ini menyebabkan banyak sekali pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya.
Ia menjelaskan, pertama soal demonstrasi masih digunakan kata ditunggangi dan digerakkan. Padahal menurutnya demonstrasi untuk mendorong kepolisian mengusut pidato kontroversi Ahok soal Al Maidah 51 itu penggeraknya legal dan sah.
"Kedua, terkait makar. Banyak yang belum paham bahwa pasal makar itu sebagian besar sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk penyesuaian dengan UUD 1945 yang baru," kata Fahri.
Ia menjelaskan makar dalam terminologi di KUHPidana disebut anslaag. Aanslag itu diartikan sebagai gewelddadige aanval yang dalam bahasa Inggris artinya violent attack atau serangan yang menyebabkan kerusuhan.
"Artinya makar itu hanya terkait dengan fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat. Memang di Bab II KHUPidana sebelum reformasi makar di bahas dari pasal 104 sampai dengan 129. Namun sekarang sudah banyak yang dihapus dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat," beber Fahri.
Yang dimaksud violent attack menurut Fadli antara lain seperti membocorkan rahasia negara, kerjasama dengan tentara asing dalam massa perang. Sementara yang terkait dengan kehormatan dan martabat kepala negara, lanjut dia, sudah berubah menjadi delik aduan.
"Amandemen 1945 memigrasi segala anasir otoriter yang berpotensi mengekang kebebasan befikir dan berekspresi masyarakat. Jadi salah tempat di era demokrasi ini kalo masih ada yang berpikir tentang makar. Presiden naik dan jatuh diatur jalan keluarnya dalam konstitusi, tak ada yang tidak diatur demi tertib sosial," kata Fahri.
Ketiga, kata dia, soal posisi dan tugas legislatif. Menurutnya, tidak ada fungsi pengawasan eksekutif pada legislatif, yang memiliki fungsi pengawasan itu adalah legislatif.
"Fungsi pengawasan ini bisa di kantor DPR ataupun di luar kantor. Dan dalam menjalankan fungsinya tersebut tidak boleh ada yang menghalangi dan atau anggota DPR imun dari tuntutan. Itulah alasan kenapa legislatif diberi hak imunitas oleh UUD 45. Karena akan mengawasi kekuasan yang besar. eksekutif bisa saja tidak rela diawasi lalu menggunakan kekuasaan untuk menjegal dan melawan pengawasan. seharusnya dengan dasar itu anggota dpr harus berani," paparnya.
Ia menegaskan persoalan orasinya saat demo bukan soal makar atau melawan, tapi dirinya tengah menjalani fungsi pengawasan. Kalau memang bangsa ini menghendaki anggota DPR yang diam sebaiknya kembali ke sistem otoriter.
"Mungkin orang mau merebut pertumbuhan ekonomi besar seperti China dengan sistem tangan besi, silahkan saja tapi saya tidak akan diam. Saya tidak percaya dengan kemajuan ekonomi yang hanya meletakkan manusia dalam mesin produksi," ungkapnya.
Ia menambahkan, UUD 1945 kita adalah konstitusi manusiawi yang meletakkan manusia lebih penting dari apapun. Karena itu pemerintahan Jokowi ia minta jangan lagi menggunakan kosa kata yang sudah hilang di era demokrasi ini.(gle/ter/wly)