Kini Penghayat Kepercayaan Bisa Tulis Data Agama di KTP dan Kartu Keluarga
Kini penganut kepercayaan tidak lagi mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga.
Penulis:
Eri Komar Sinaga
Editor:
Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kini penganut kepercayaan tidak lagi mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga.
Mereka bisa menuliskan 'penghayat kepercayaan' di Kartu keluarga dan KTP.
Kepastian tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan seluruhnya permohonan pengujian Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Baca: Perdana Hadir di Rapat Paripurna DPRD, Sandi: Pantas Tidak Kita Pakai Jas
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata hakim ketua Arief Hidayat saat membacakan putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Mahkamah memutuskan kata 'agama' pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'.
Mahkamah juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 61 ayat (2) berbunyi Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaantidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Baca: Fahri Hamzah: Katanya Revolusi Mental, Bikin Pesta Kecil-kecilan Saja
Sementara Pasal 64 ayat (5) berbunyi 'elemen data penduduk tentang agama sebagimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base kependudukan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat bahwa sudah jelas dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, 'agama' dan 'kepercayaan' diletakkan sebagai dua hal yang terpisah.
Keduanya dirumuskan dalam dua ayat yang berbeda.
Sehingga Administrasi Kependudukan merupakan bagian atau salah satu bentuk dari pemenuhan pelayanan publik sebagai hak yang melekat bagi setiap warga negara sehingga menjadi kewajiban bagi negara untuk menjamin dan memenuhinya.
Mahkamah berpendat dalam upaya melakukan tertib administrasi kependudukan sama sekali tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara termasuk hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Baca: Menteri Luhut Temui Relawan Jokowi di Asrama Haji Donohudan
"Database kependudukan yang disusun haruslah dalam kerangka menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dimaksud sehingga database kependudukan akan tersusun secara lebih akurat, karena tidak akan ada warga negara yang terdata dalam database kependudukan yang elemen data kependudukan di dalamnya tidak diisi atau diisi secara tidak sesuai dengan apa sebenarnya agama atau keyakinan yang dianutnya," kata Mahkamah dalam pendapatnya.
Mahkamah juga sependapat dengan dalil dari para pemohon bahwa Pasal a quo bertentangan dengan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Sejak awal, penganut kepercayaan sudah dibedakan dengan penganut agama yang diakui sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana pembedaan demikian tidak berdasarkan pada alasan yang konstitusional.
Keberadaan Pasal tersebut menyebabkan akibat penghayat kepercayaan kesulitan memperoleh KK maupun KTP elektronik.
Pengosongan elemen data kependudukan tentang agam juga telah berdampak ada pemenuhan hak-hak lainnya seperti perkawinan dan layanan kependudukan.
"Bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen daa kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'penghayat kepercayaan' tanpa merinci kepercayaan yang dianut dalam KK maupun KTP elektronik begitu juga dengan penganut agama lain," kata Mahkamah.
Permohonan tersebut diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.