Jumat, 10 Oktober 2025

Seleksi Pimpinan KPK

KPK Tegaskan Tidak Memprioritaskan Calon Pimpinan Jilid V dari Institusi Tertentu

KPK menegaskan tidak ada ketentuan yang mewajibkan pimpinan KPK jilid V berasal dari unsur perwakilan institusi tertentu.

Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tidak ada ketentuan yang mewajibkan pimpinan KPK jilid V berasal dari unsur perwakilan institusi tertentu.

"Terkait dengan pertanyaan tentang apakah harus ada unsur-unsur perwakilan institusi yang harus ada di KPK untuk menjadi pimpinan KPK, kami mengajak semua pihak untuk tetap mengacu pada aturan yang ada, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, kepada pewarta, Jumat (19/7/2019).

Febri menerangkan, pada Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa keanggotaan komisi atau pimpinan KPK terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

Baca: Tak Sekedar Bagi-bagi Kursi Kabinet, Gerindra Ingin Tukar Konsep Dengan Pemerintah

Baca: Demokrat Bicara Soal Kursi Kabinet: Kami Siap Dalam Posisi Apapun

Baca: Kasus Pengacara Serang Hakim Pakai Ikat Pinggang Saat Sidang, Ini Pengakuan Korban Hingga Reaksi MA

Baca: Minta Selesaikan Kasus Novel, Jokowi Beri Tenggat 3 Bulan Untuk Kapolri

Hal tersebut, imbuhnya, juga diuraikan kembali dalam penjelasan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu 'pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya adalah pejabat negara'.

"Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi," ujarnya.

"Dari dua UU tersebut kita memahami bahwa unsur yang diwajibkan sebagai pimpinan KPK adalah unsur pemerintah dan masyarakat, jadi tidak ada ketentuan yang mewajibkan unsur perwakilan institusi tertentu," sambung Febri.

Apalagi, ujarnya, undang-undang mengatur proses yang ketat agar proses seleksi dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat serta melalui uji kelayakan di DPR berdasarkan hasil panitia seleksi yang dibentuk Presiden Jokowi.

KPK pun kata Febri mengharapkan proses seleksi tersebut tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku sehingga tidak ada bias-bias pemahaman sejak awal.

"Jangan sampai ada kesan 'penjatahan' dalam kursi pimpinan KPK karena tugas yang akan dilakukan di KPK nantinya tidak akan terpengaruh pada keterwakilan tersebut. Fokus KPK adalah agar dapat menjalankan lima tugas yang diberikan UU secara maksimal, yaitu koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan, 'monitoring'," katanya.

Selain itu, menurutnya, KPK juga mengharapkan keseimbangan gender juga menjadi perhatian dalam proses seleksi pimpinan KPK ini.

Apalagi, katanya, KPK selama ini cukup intens membangun gerakan antikorupsi bersama jaringan-jaringan perempuan, yaitu Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) dan Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA).

"Serta organisasi lain dari unsur masyarakat, akademisi, Polwan, anggota TNI, Kepala Daerah hingga bidan dan tenaga kesehatan di pelosok-pelosok daerah yang fokus dengan semangat pemberantasan korupsi," kata Febri.

Ingatkan Pansel

Mantan Ketua KPK Antasari Azhar mengingatkan panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK periode 2019-2023 agar memilih pimpinan KPK yang memenuhi unsur penyidikan dan penuntutan sesuai amanah undang-undang KPK sehingga tidak melanggar undang-undang.

Hal itu dikatakannya dalam Dialektika Demokrasi bertajuk 'Mencari Pemberantas Korupsi yang Mumpuni' di Media Center Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

"Pesan saya untuk Ibu Yenti sebagai ketua Pansel Capim KPK agar benar-benar teliti dalam memilih pimpinan KPK. Jangan sampai melanggar undang-undang," ucap Antasari Azhar.

Selain itu, menurutnya, formasi pimpinan KPK periode 2015-2019 saat ini terindikasi melanggar undang-undang karena dari lima pimpinan KPK tidak memenuhi unsur penyidikan dan penuntutan.

Baca: Hakim PN Jakarta Pusat Diserang Pengacara, Mahkamah Agung: Ini Penghinaan Terhadap Lembaga Peradilan

Baca: MA Kecam Peristiwa Pengacara Aniaya Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Baca: ‎Pimpinan KPK ke Depan Harus Bisa Hilangkan Sentimen Penyidik Polri dan Independen

Berdasarkan amanah pasal 21 ayat 5 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, kata dia, menyebutkan bahwa formasi pimpinan KPK harus memenuhi unsur penyidikan dan penuntutan.

"Itu artinya, formasi pimpinan KPK harus ada unsur polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut," jelasnya.

Sementara, formasi pimpinan KPK periode 2014-2019 saat ini terdiri dari, Agus Raharjo (ahli pengadaan barang/jasa), Alexander Marwata (hakim tipikor), Saut Situmorang (staf ahli BIN), Laode Muhammad Syarif (akademisi), dan Basaria Panjaitan (polisi).

Baca: KPK Telusuri Kepemilikan Aset Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar

Baca: KPK Telusuri Kepemilikan Aset Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar

"Apakah dari lima pimpinan KPK itu ada unsur jaksa? eggak ada kan. Berarti ada pelanggaran undang-undang," pungkasnya.

Untuk diketahui, Pansel Capim KPK telah merilis dari 376 pendaftar, hanya 192 yang lolos seleksi administrasi. Komposisi 192 pendaftar itu yakni 180 pria dan sisanya 12 perempuan.

Berdasarkan latar belakang profesi, akademisi atau dosen ada 40 orang ‎, advokat/konsultan hukum ada 39 orang, korporasi (swasta, BUMD, BUMN) 17 orang.

Jaksa dan hakim yang lolos 18 orang, anggota TNI tidak ada yang lolos, anggota Polri 13 orang lolos, auditor 9 orang, komisioner/pegawai KPK 13 orang, lain-lain (PNS, pensiunan, wiraswasta, NGO, pejabat negara) ada 43 orang.

192 jalani uji kompetensi

Sebanyak 192 pendaftar calon pimpinan KPK hari ini, Kamis (18/7/2019) bakal mengikuti tahapan seleksi berikutnya.

Bertempat di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara, Jalan Gaharu I No 1, Cilandak, Jakarta Selatan, seleksi uji kompetensi bakal digelar.

"Kami sudah melakukan persiapan untuk uji kompetensi hari ini. Insya Allah lancar," ucap ‎Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, Yenti Garnasih kepada Tribunnews.com.

Yenti menjelaskan ‎uji kompetensi meliputi Obyektive Test dan penulisan makalah ini digelar pukul 08.00-13.00 WIB.

‎"Untuk judul makalahnya nanti diberi tahu saat tes, saat ini masih rahasia," tegas Yenti.

Baca: 5 Anak Ketua Umum Partai yang Berpeluang Jadi Menteri Jokowi, Siapa Saja?

Baca: Dua Polwan di Bursa Capim KPK vs Basaria

Pada saat mengikuti uji kompetensi, ungkap Yenti, setiap pendaftar wajib membawa KTP dan hadir 30 menit sebelum pelaksanaan tes dimulai untuk regritrasi.

Bagi Pendaftar yang menyampaikan lamaran melalui email wajib menyerahkan hardcopy berkas lamaran ke panitia seleksi pada saat registrasi sebelum pelaksanaan Uji Kompetensi.

"Bagi yang tidak menyerahkan hardcopy berkas lamaran dinyatakan gugur. Pendaftar yang tidak hadir mengikuti Uji Kompetensi dinyatakan gugur," tambah Yenti.

Untuk diketahui, Pansel Capim KPK telah merilis dari 376 pendaftar, hanya 192 yang lolos seleksi administrasi. Komposisi 192 pendaftar itu yakni 180 pria dan sisanya 12 perempuan.

Berdasarkan latar belakang profesi, akademisi atau dosen ada 40 orang ‎, advokat/konsultan hukum ada 39 orang, korporasi (swasta, BUMD, BUMN) 17 orang.

Jaksa dan hakim yang lolos 18 orang, anggota TNI tidak ada yang lolos, anggota Polri 13 orang lolos, auditor 9 orang, komisioner/pegawai KPK 13 orang, lain-lain (PNS, pensiunan, wiraswasta, NGO, pejabat negara) ada 43 orang.

Catatan ICW

Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan 192 orang yang dinyatakan lolos pada tahap seleksi administrasi.

Menanggapi hal itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan tiga catatan penting.

Pertama, menurut ICW, Pansel Pimpinan KPK tidak memperhatikan isu kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari pendaftar yang berasal dari unsur penyelenggara negara, aparatur sipil negara, dan institusi penegak hukum.

"Harusnya ini dijadikan salah satu penilaian dari sisi administrasi, karena bagaimanapun kepatuhan melaporkan LHKPN menjadi salah satu indikator dari integritas pejabat publik," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Jumat (12/7/2019).

Baca: KPK Segel Ruang Kerja Gubernur Kepulauan Riau

Baca: 5 Zodiak Paling Sering Gonta-ganti Gebetan, Libra Ahli Merayu Mangsa dan Jago Menutupi Kedok!

Baca: OTT Pungutan Liar, Polisi Segel Ruang BPKD Pematangsiantar

Baca: Kasus Video Ikan Asin: Ibu Galih Ginanjar Syok hingga Barbie Kumalasari Siap Minta Maaf ke Fairuz

Harus dipahami bahwa LHKPN merupakan suatu kewajiban hukum bagi setiap penyelenggara negara, hal ini diatur dalam UU No 28 Tahun 1999, UU No 30 Tahun 2002, dan Peraturan KPK No 07 Tahun 2016.

Untuk itu seharusnya jika ditemukan dari para penyelenggara negara, aparatur sipil negara ataupun penegak hukum yang belum pernah atau tidak memperbarui LHKPN nya di KPK maka sudah sewajarnya Pansel tidak meloloskan calon tersebut.

Kedua, untuk tahap selanjutnya Pansel harus memastikan bahwa rekam jejak para pendaftar Pimpinan KPK tidak pernah tersandung persoalan masa lalu.

Untuk menilai poin ini sebenarnya dapat menggunakan beberapa indikator.

Misal, dari para pendaftar harus dipastikan bersih dari catatan hukum.

Selain itu persoalan yang juga cukup penting adalah terkait dugaan pelanggaran etik para pendaftar pada lembaga terdahulu.

"Jangan sampai jika ada figur yang pernah diduga melanggar etik justru terlewat dan malah diloloskan oleh Pansel," jelasnya.

Ketiga, dalam nama-nama yang dinyatakan lolos pada tahap seleksi administrasi masih banyak ditemukan figur yang berasal dari institusi penegak hukum.

Sedari awal ICW menganggap bahwa calon-calon yang berasal dari institusi penegak hukum lebih baik diberdayakan saja di Kepolisian ataupun Kejaksaan.

Mengingat dua institusi penegak hukum itu belum terlihat baik dalam hal memaksimalkan pemberantasan korupsi.

Untuk tahap selanjutnya, imbuh dia, jika para penegak hukum aktif tersebut tetap diloloskan Pansel maka ia harus mengumumkan bahwa mereka akan mundur dari institusinya terdahulu ketika terpilih menjadi Pimpinan KPK.

"Ini penting untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan ketika menangani sebuah perkara yang mana pelaku berasal dari institusinya terdahulu," ucapnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved