Revisi UU KPK
Pernyataan Terbaru Jokowi Sikapi Revisi UU KPK yang Digulirkan DPR
Menurut Jokowi, dirinya baru saja menerima daftar inventaris malasah (DIM) draf revisi UU KPK dan akan dipelajari terlebih dahulu secara detail.
Penulis:
Seno Tri Sulistiyono
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan pembatasan terhadap lembaga antirasuah tersebut.
"Jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Sehingga independensi KPK menjadi terganggu, intinya ke sana," ujar Jokowi di Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Menurut Jokowi, dirinya baru saja menerima daftar inventaris malasah (DIM) draf revisi UU KPK.
Meski demikian dia akan mempelajari draf itu terlebih dahulu secara detail baru diputuskan.
"Saya mau lihat dulu, nanti satu per satu kita pelajari, putusin, dan saya sampaikan kenapa ini iya, kenapa ini tidak karena tentu saja ada yang setuju, ada yang tidak setuju dalam DIM-nya," tuturnya.
Baca: Harapan kepada Komisi III DPR yang Akan Melakukan Uji Kelayakan dan Kepatutan Capim KPK Hari Ini
Baca: KPK Mau Dilemahkan? Pimpinan KPK: Perancis Saja Contoh KPK Indonesia
Dalam mengambil keputusan yang tepat terkait revisi UU KPK, Jokowi melakukan diskusi dengan sejumlah menteri dan akademisi sejak awal pekan ini.
" Sudah mulai sejak hari Senin, sudah kami maraton minta pendapat para pakar, kementerian, semuanya secara detail, sehingga begitu DIM nanti nanti kami lihat, saya sudah punya gambaran," tuturnya.
Sementara terkait Surat Presiden (Supres), kata Jokowi, akan disampaikan kepada publik jika telah dikirim ke DPR.
"Kami baru melihat DIM-nya dulu, nanti kalau Supres (Surat Presiden) kami kirim, besok saya sampaikam. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi," tuturnya.
Sikap KPK
Sejumlah poin dalam draf revisi Undang-undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak hanya bertentangan dengan Konvensi Antikorupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU nomor 7 tahun 2006.
Revisi UU KPK ini juga dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Jakarta Statement of Principles for Anti-Corruption Agencies pada 2012.
Baca: Fahri Hamzah Marah-marah di ILC, Bentak Pejabat yang Takut Merevisi UU KPK: Pengecut Semua
Baca: Di ILC, Karni Ilyas Akui Kaget Lihat Saut Situmorang Berapi-api Tolak Revisi UU KPK: Keras Juga Ini
Padahal, sesuai namanya, prinsip-prinsip mengenai lembaga antikorupsi ini ditandatangani di Jakarta.
"Tolong dilihat itu Jakarta Principles disetujui di Jakarta oleh semua lembaga antikorupsi dunia, tiba-tiba kita ingin mengubahnya tidak sesuai dengan Jakarta Principles," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Salah satu poin penting dalam Jakarta Principles yang disepakati oleh seluruh lembaga antikorupsi dunia adalah mendorong negara agar berani melindungi independensi lembaga antikorupsi.
Sementara draf revisi UU KPK justru mengancam independensi KPK.
Dalam draf RUU, KPK menjadi lembaga Pemerintah Pusat dan pegawai KPK dimasukan dalam kategori Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sebagai tuan rumah Jakarta Principles, Indonesia seharusnya menjalankan kesepakatan tersebut.
Apalagi, dari Jakarta Principles dan berkaca pada KPK sebagai role model, terdapat sejumlah negara yang kemudian membentuk lembaga antikorupsi yang independen.
Salah satunya, Prancis yang membentuk Agence Française Anticorruption (AFA).
"Banyak negara lain yang mencontoh KPK, dulu Prancis itu tidak punya lembaga antikorupsi. Prancis membentuk setelah dia melihat KPK dan membaca Jakarta principles," ungkap Laode.
Untuk itu, kata Laode, dengan UU yang ada saat ini, KPK sudah mampu bekerja dan bahkan menjadi role model lembaga antikorupsi bagi sejumlah negara.
Pernyataan tegas KPK tidak membutuhkan perubahan atas UU nomor 30/2002 pernah disampaikan Laode saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada awal 2016 atau beberapa saat setelah Agus Rahardjo Cs dilantik sebagai Pimpinan KPK Jilid IV.
Ketimbang revisi UU KPK, menurut Laode, KPK mendorong DPR untuk merevisi UU nomor 20/2001 tentang Tipikor dengan mengakomodasi sejumlah rekomendasi dalam UNCAC.
"Kebetulan waktu itu yang wakili KPK nya adalah saya dan pada waktu itu kami sampaikan bahwa revisi Undang-undang KPK belum diperlukan, yang perlu itu adalah beberapa poin dalam Undang-undang Tipikor agar memasukkan gap yang ada di dalam United Nations Convention Against Corruption dengan undang-undang Tipikor kita waktu itu. Itu jelas dan suratnya mungkin saya bisa sampaikan kepada teman-teman media, copy dari surat tersebut ditandatangani oleh lima pimpinan disampaikan," ujarnya.