Jumat, 22 Agustus 2025

Revisi UU KPK

IPW: UU KPK Hasil Revisi untuk Perbaiki KPK

Neta S Pane menegaskan, lembaga tanpa pengawasan sama saja membiarkannya menjadi lembaga otoriter.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi Dewan Perwakilan Rakyat Undangundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.

"Dengan adanya revisi UU arahnya jelas untuk memperbaiki KPK dan sekaligus untuk menutup celah KPK menjadi lembaga otoriter dan menjadi 'kerajaan' sendiri dalam negara NKRI," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada Tribunnews.com, Rabu (18/9/2019).

Baca: DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi KUHP Dibawa ke Paripurna

Kesadaran yang harus dibangun dan disadari dalam UU KPK hasil revisi ini adalah tidak ada lembaga negara yang berdiri di republik ini tanpa pengawasan.

Neta S Pane menegaskan, lembaga tanpa pengawasan sama saja membiarkannya menjadi lembaga otoriter.

"Sehingga revisi UU KPK ini bermakna menghindari KPK menjadi lembaga otoriter dan meyakinkan bahwa pengawasan adalah sebuah kemutlakan," jelasnya.

Selain itu, Neta S Pane menjelaskan, revisi UU KPK ini juga bertujuan agar lembaga antirasuah itu tertib administratif dan tertib keuangan.

"Agar benar-benar menjadi sapu bersih yang bebas dari korupsi maupun potensi korupsi. Sehingga KPK harus transparan dalam laporan keuangannya ke BPK," katanya.

Dia menilai, selama ini KPK abai dalam laporan keuangannya.

Terutama kata dia, terkait mempertanggungjawabkan barang barang sitaan atau rampasan dari tersangka korupsi.

"Dengan status audit keuangan BPK terhadap KPK yang Wajar Dengan Pengecualian (WDP), semakin menunjukkan kecurigaan bahwa ada masalah besar di KPK. Karenanya, masalah potensi korupsi di lembaga antirasuah itu yang harus dibersihkan," jelasnya.

Dia sepakat terhadap tujuh poin perubahan dalam UU KPK hasil revisi.

"Tujuh poin perubahan yang disepakati dalam revisi UU KPK, itu memang harus dilakukan. Sebab sebagian besar masalah dan kebobrokan KPK ada di tujuh poin tersebut," katanya.

Baca: Massa Pendukung Revisi UU KPK Gunakan Almamater Polos Saat Unjuk Rasa

Dia menilai, masalah-masalah yang ada pada tujuh poin itulah yang membuat oknum-oknum KPK lupa arah, dan tugas utamanya adalah pencegahan korupsi dan bukan menjadi pemadam kebakaran korupsi.

"Artinya apa? KPK itu dibentuk agar korupsi di negeri ini perlahan lahan hilang dan bukan makin marak. Sekarang ini yang terjadi korupsi makin marak, seperti kebakaran hutan yang terjadi dimana mana. Hal ini menunjukkan KPK gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga pencegahan korupsi. Hal ini karena oknum oknum KPK hanya asyik dengan pencitraan dan publikasi sebagai selebritas pemadam kebakaran korupsi," ujarnya.

DPR Sahkan Revisi UU KPK

Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly saat memberikan pidato pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. Tribunnews/Jeprima
Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly saat memberikan pidato pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

DPR telah mengesahkan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).

"Apakah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disetujui menjadi undang-undang?," tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.

Baca: Sinta Nuriyah ‎Mules dan Kecewa Dengar RUU KPK Disahkan

"Setuju," jawab seluruh anggota dewan yang hadir.

Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.

Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.

Kemudian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR pada 11 September 2019.

Baca: Suarakan Tolak Revisi UU KPK dan Firli Bahuri, Sekelompok Orang Terlibat Bentrok Dengan Polisi

Pembahasan berlanjut pada 12 September 2019 saat perwakilan pemerintah membahasnya bersama Badan Legislasi DPR.

Hingga kemudian, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).

7 Poin Revisi UU KPK

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat menghadiri Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. Tribunnews/Jeprima
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat menghadiri Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Baca: Adik Imam Nahrawi Angkat Bicara, Nilai KPK Buru-Buru Hingga Singgung Status KPK

Pemerintah dan DPR telah menyepakati seluruh poin atau daftar inventaris masalah ( DIM) RUU KPK.

Terdapat tujuh poin revisi antar Panitia kerja pemerintah dan Panitia kerja DPR RI yang disepakati pada Rapat Senin malam.

Adapun ketujuh poin tersebut:

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.

Lalu ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Keempat, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.

Tujuh poin kesepakatan pemerintah dan DPR tersebut kemudian diterima secara utuh oleh tujuh Fraksi DPR, diantaranya Fraksi PDI, Golkar, NasDem, PKB, PPP, PAN, dan Hanura.

Baca: Menpora Imam Nahrawi Ditetapkan Jadi Tersangka Oleh KPK, Ini Respons Istana

Dua Fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan, yakni soal Dewan Pengawas KPK. Sementara itu satu Fraksi lainnya yakni Demokrat belum memberikan tanggapannya.

"Sehingga tujuh fraksi menerima itu secara utuh. Jadi itulah dinamika yang terjadi dalam rapat kerja semalam, bahwa fraksi partai Gerindra dengan fraksi partai keadilan sejahtera belum bisa menerima secara utuh menyangkut revisi UU KPK ini karena berkaitan dengan mekanisme pemilihan dari dewan pengawas," ujar Supratman, Selasa, (17/9/2019).

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan