Sabtu, 6 September 2025

Ombudsman Nilai Penerbitan Inpres Terkait Sanksi Bagi Penunggak Iuran BPJS Bentuk Maladministrasi

Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih mengritik keras rencana pemerintah memberikan sanksi bagi para penunggak iuran BPJS Kesehatan.

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Theresia Felisiani
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menggunakan kaos hitam dalam diskusi bertajuk : BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera, Minggu (13/10/2019) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. 

Temuan fraud terjadi juga di tingkat Puskesmas dalam bentuk penerimaan uang oleh pihak Puskesmas untuk mengeluarkan rujukan kepada pasien.

"Puskesmas juga diidentifikasi melakukan kecurangan berupa tidak optimal menangani pasien dan segera merujuk pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) untuk menjaga agar dana kapitasi dari BPJS tidak berkurang signifikan," tutur Dewi.

Baca: Hasil dan Klasemen Liga 2 2019, PSIM Raih Kemenangan Krusial, Asa PSMS dan Persis Lolos 8 Besar

Lanjut, temuan fraud ada juga di rumah sakit, dalam beragam bentuk seperti penggunaan alkes, obat, sampai tindakan medis.

Dimana alkes dan obat tidak digunakan secara optimal dalam pengobatan pasien tapi tetap ditagihkan dalam klaim rumah sakit.

Ada pula pasien rawat inap yang diminta pulang lebih dulu kemudian bisa kembali lagi dirawat inap karena batasan lama rawat inap sudah kadaluarsa.

Termasuk pasien harus membeli obat di luar karena stok obat instalasi rumah sakit habis.

"Hal ini diduga sengaja terjadi karena rumah sakit tidak konsisten dan disiplin menjalankan Rencana Kebutuhan Obat," tegasnya.

Baca: Ratusan Siswa SMA Negeri 1 Waleri Keracunan Usai Makan Nasi Ayam Saat Kemah, Tidak Ada Korban Jiwa

Dewi melanjutkan beberapa faktor yang menyebabkan fraud ‎terjadi diantaranya faktor pendataan yang tidak valid dan akurat bagi peserta JKN-PBI.

Pada tahun 2019, ICW kembali melakukan pemantauan potensi fraud dalam penyediaan obat di empat kota yaitu Banda Aceh, Medan, Banten dan Blitar‎.

Hasilnya ditemukan banyak kasus kekosongan obat dengan berbagai jenis obat.

"Out of pocket yang dikeluarkan pasien berkisar Rp 10-750 ribu. Penyebab kekosongan obat diantaranya lantaran lambatnya distribusi obat oleh perusahaan farmasi, penyusunan Rencana Kebutuhan Obat yang tidak sesuai dan adanya hutang fasilitas kesehatan. Potensi fraud telah terjadi sejak perencanaan, pengadaan hingga pengelolaan obat," ungkap Dewi.

Atas beragam potensi fraud dalam program JKN yang dikelola BPJS ini, ICW berkesimpulan pengawasan, transparansi, dan tata kelola program JKN bermasalah bahkan cenderung pasif.

"Perlu perbaikan regulasi dan program pengawasan sehingga potensi fraud dapat ‎berkurang sebagai salah satu penyebab defisit yang dialami BPJS Kesehatan," katanya.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan