Ketua KPU Bandingkan Plus-Minus Sistem Pemilu dan Sistem Kerajaan
Arief Budiman mengatakan biaya mahal adalah konsekuensi pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Penulis:
Danang Triatmojo
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, PURWOKERTO - Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan biaya mahal adalah konsekuensi pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Tapi lewat pemilu, bisa menciptakan akuntabilitas dan mendorong seluruh elemen masyarakat terlibat memilih sosok pemimpin yang dikehendaki.
"Pemilu itu memang ada konsekuensi biayanya. Pemilu itu kan cara yang dipilih, disepakati oleh kita dalam melakukan rekrutmen kepemimpinan atau regenerasi kepemimpinan secara demokratis," ujar Arief di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (29/11/2019).
Baca: Wacana Pilkada Kembali ke DPRD Mencuat, Ketua KPU: Terserah Pembuat Undang-Undang
Sebaliknya kata Arief, kalau mau murah, simpel tapi tidak demokratis, pemilihan pemimpin bisa contek sistem di negara kerajaan.
Pada sistem tersebut pemimpin dipilih berdasarkan keturunan. Ketika sang raja melepas jabatannya, maka posisinya akan diserahkan ke putra mahkota.
Proses pengalihan kepemimpinan ini berlangsung cepat, dan tanpa habiskan biaya besar.
Baca: Ketua KPU Sebut e-Rekapitulasi Kebutuhan yang Mendesak
"Saya tidak bilang itu buruk, misal negara yang berbentuk kerajaan. Kalau sang raja mangkat, yang gantikan siapa? Putra mahkotanya. Nggak pakai lama, besok keluarkan SK pelantikan, selesai," jelasnya.
Masing-masing sistem punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Pelaksanaan pemilu memang punya konsekuensi biaya mahal. Tapi, masyarakat diajarkan untuk peduli terhadap pemimpinnya kelak.
"Jadi semua merasa terlibat, semua nanti peduli kalau terjadi apa-apa. Jadi, memang ada sisi plus minusnya, biayanya jadi lebih mahal, memang karena itu konsekuensinya. Karena ada proses yang panjang. Kan beda, yang tadi (sistem kerajaan) nggak pakai proses, terbitkan SK saja," pungkas Arief.