Kamis, 11 September 2025

UU Cipta Kerja

Ketika Fahri Hamzah Sebut UU Cipta Kerja Rampas Hak Publik, Luhut: Tidak Ada yang Merugikan Rakyat

Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menyebut UU Cipta Kerja telah merampas hak publik, bagaimana dengan Luhut Binsar Pandjaitan?

Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
Kolase Tribunnews
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah (kiri) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (kanan). 

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019, Fahri Hamzah, ikut menyoroti soal Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Dalam penuturan Fahri Hamzah, UU Cipta Kerja dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disahkan oleh DPR pada Senin (5/10/2020).

Sebab, kata Fahri, UU Cipta Kerja telah melanggar konstitusi karena dianggap merampas hak undang-undang.

"Omnibus law itu, otomatis jelas melanggar konstitusi karena prinsipnya dalam negara demokrasi itu, merampas hak undang-undang, itu tidak boleh," kata Fahri dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/10/2020).

"Pembuatan undang-undang harus mengacu pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai Perppu dan diuji di DPR," sambung Fahri.

Baca: Begini Nasib Karyawan Outsourcing yang Diatur dalam UU Cipta Kerja

Baca: Jika UU Cipta Kerja Tak Dibatalkan, Ribuan Buruh di Sumedang Ancam akan Buat Kerusuhan

UU Cipta Kerja, kata Fahri, bukan UU hasil revisi atau amandemen, melainkan UU baru yang dibuat dengan menerobos banyak undang-undang.

Selain itu, pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini juga menyebut UU Cipta Kerja telah merampas hak publik dan rakyat.

Sehingga, kata Fahri, UU Cipta Kerja jelas-jelas telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ini bukan open policy, tapi legal policy. Undang-Undang Cipta Kerja dianggap oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat, sehingga berpotensi dibatalkan secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi," kata Fahri.

Fahri bahkan menyebut, dirinya tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat hukum dan tata negara Presiden Jokowi yang lebih mendorong pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, daripada mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan teknik.

Suasana pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Baca: BREAKING NEWS:Buntut UU Cipta Kerja, Gedung DPR RI Dijual Online Shop, Minta Polisi Bertindak Tegas

Baca: Puan Maharani Matikan Mikrofon Saat Bahas UU Cipta Kerja, Nikita Mirzani: Suka Jail Aja Jarinya

"Mohon maaf, penasihat hukum dan tata negaranya Pak Jokowi kurang pintar. Pak Jokowi itu bukan lawyer atau ahli hukum, mestinya ahli hukum yang harus dengar Pak Jokowi," ucap Fahri.

"Ini Pak Jokowi-nya yang nggak mau dengar ahli hukum atau ahli hukumnya yang tidak mau dengerin Pak Jokowi. Tapi kelihatanya ada pedagang yang didengar oleh Pak Jokowi daripada ahli hukumnya," ujarnya.

Sementara itu, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI tidak merugikan rakyat.

"Tidak ada dalam Omnibus Law yang merugikan rakyat, baik masalah lingkungan."

"Itu Ibu Siti (Menteri LHK) ahli lingkungan. Jadi kita tidak pernah memperdaya atau merusak kepercayaan rakyat kepada kami," kata Luhut, seperti yang diberitakan Kompas.com.

Baca: Ada Bom Molotov dan Pesan Ajakan Demo di Ponsel Pelajar Palembang yang Demo Tolak UU Cipta Kerja

Baca: Menaker Menjawab Tuntutan Buruh yang Menolak UU Cipta Kerja

Menurut Luhut, penyusunan Omnibus Law tersebut agar diterima oleh semua kalangan, sekaligus memadukan berbagai macam beleid yang telah ada menjadi satu.

"Tapi yang kita lakukan adalah apa yang berlaku umum, berlaku universal itu kita buat sehingga kita jangan menjadi negara Alien," ucapnya.

"Dengan peraturan yang aneh-aneh, yang tidak terintegrasi satu peraturan dengan peraturan yang lain. Satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Itulah kenapa lahirnya Omnibus Law ini," jelas Luhut.

Dirinya menyebut, awal mula istilah Omnibus Law ini diusulkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Sofyan Djalil.

Sebab, kata Luhut, Sofyan Djalil mengetahui istilah Omnibus Law ini ketika dirinya mengenyam pendidikan di Amerika Serikat (AS).

Baca: Pelajar SMK Ikut Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja, Lempar Batu hingga Berujung Ricuh

Baca: Ekonom Bahana Sekuritas Optimistis Pengesahan UU Cipta Kerja Tak Diikuti PHK Besar-Besaran

"Istilah Omnibus Law ini keluar dari Pak Menteri ATR. Karena beliau belajar soal ini di Amerika dulu, dia mengatakan kepada saya 'Pak Luhut, ada yang bisa menyatukan (semua regulasi) ya ini ada Omnibus Law'," ucap Luhut.

Luhut mengaku, pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja telah melalui proses sekitar 4 tahun lamanya.

Ketika itu, Luhut menjabat sebagai Menko Polhukam.

"Jadi tidak ada yang baru, itu sudah lama dikerjakan kurang lebih 4 tahun," katanya.

(Tribunnews.com/Whiesa/Seno Tri Sulistiyono) (Kompas.com/Ade Miranti Karunia)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan