Catatan Formappi Soal DPR di 2021: Semakin Menjauh dari Rakyat
Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pokok DPR, catatan FORMAPPI sepanjang tahun 2021 menunjukkan bahwa kinerja DPR tak cukup memuaskan.
Penulis:
Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam hitungan hari, tahun 2021 akan segera berlalu.
Momentum pergantian tahun selalu bisa digunakan untuk melakukan refleksi, memikirkan kembali kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam setahun sembari melihat pesan-pesan tersirat dan tersurat dibaliknya.
Pesan-pesan itu diharapkan akan menjadi pelajaran berharga untuk perjalanan tahun selanjutnya.
Sebagai lembaga negara sekaligus lembaga perwakilan rakyat, peristiwa-peristiwa yang terjadi di parlemen selalu berhubungan dengan publik.
Karena itu refleksi publik atas peristiwa-peristiwa di parlemen juga penting untuk menilai seberapa DPR telah melaksanakan tugas-tugas pokok mereka sesuai dengan rencana mereka sekaligus sesuai dengan harapan publik.
Baca juga: Kata Istana Soal Video Warganet yang Mengaku Kaca Spionya Dirusak Paspampres
Baca juga: Survei PRC: 51,8 Persen Publik Puas Kinerja Kabinet Indonesia Maju, TNI Lembaga Berkinerja Terbaik
Oleh karena itu sebagai bagian dari publik sekaligus menjadi lembaga yang secara khusus mengontrol kinerja DPR, FORMAPPI menyampaikan beberapa butir refleksi atas kinerja dan juga kebijakan-kebijakan maupun kejadian-kejadian yang terjadi di DPR.
Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pokok DPR, catatan FORMAPPI sepanjang tahun 2021 menunjukkan bahwa kinerja DPR tak cukup memuaskan.
Dalam beberapa hal kondisi DPR dengan keanggotaan fraksi-fraksi koalisi yang dominan, proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan kebijakan di parlemen memang menjadi sangat efektif.
"Belum satu pun kebijakan negara yang diputuskan DPR berlangsung alot, penuh perdebatan sengit hingga deadlock. Bahkan proses pembahasan sejumlah kebijakan seperti RUU, RAPBN maupun pertanggungjawaban APBN tidak berlangsung lama dan menegangkan," demikian catatan Formappi yang diterima Tribunnews, Selasa (28/12/2021).
Baca juga: 2 Kejadian Viral di SPBU: Kabur Setelah Isi Bensin Rp 200 Ribu dan Konsumen Marahi Petugas Curang
Baca juga: PDIP Pastikan Bakal Berkoalisi pada 2024: Tak Mungkin Kami Sendirian
Hampir semua bisa dibahas secara singkat dan tanpa perdebatan seru hingga waktu pengesahan.
Tentu saja ketika kebijakan yang dihasilkan menguntungkan warga, maka proses yang efektif tersebut patut diapresiasi.
Dan sesungguhnya cita-cita pemilu serentak Presiden dan DPR memang dimaksudkan agar proses pembahasan dan penetapan kebijakan di DPR bisa efektif.
Akan tetapi proses yang efektif sebagaimana tercermin dari gampangnya kebijakan dibahas dan diputuskan DPR lebih memperlihatkan wajah DPR yang tak berdaya, tumpul, tak punya sikap kritis dan tegas serta “manut” pada pemerintah.
Cepatnya proses pembahasan dan mudahnya DPR menyetujui sebuah kebijakan tak selalu karena kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan secara matang serta mempertimbangkan kepentingan publik.
Proses yang cepat itu lebih cenderung karena Pemerintah “mengendalikan” DPR. Kendali Pemerintah itu dilakukan melalui parpol-parpol koalisi yang selanjutnya menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen.
Ketika DPR cenderung menjadi sekadar “stempel” pemerintah, maka kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan.
Baca juga: Panglima TNI: Kolonel P Ditahan di Tahanan Militer Tercanggih di Jakarta
Kemunculan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengonfirmasi kelemahan DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas.
Walaupun UU Cipta Kerja merupakan hasil kerja DPR tahun 2020 lalu, kemunculan putusan MK pada tahun 2021 ini menjadi catatan penting untuk menilai kualitas kinerja legislasi DPR.
Pola kerja DPR dalam pembahasan hampir semua RUU selama tahun 2021 juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja yakni kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elit.
Capaian 8 RUU Prioritas dari 37 RUU yang direncanakan dalam Daftar Prioritas 2021 tak hanya memperlihatkan minimnya hasil kerja DPR tetapi juga membuktikan ketakpedulian DPR pada RUURUU yang mendesak untuk publik seperti RUU PDP, RUU TPKS, RUU Penanggulangan Bencana, dll.
Proses pembahasan anggaran juga tak banyak berbeda dari pembahasan RUU-RUU tertentu di DPR. Proses pembahasan anggaran tak pernah terlihat menjadi isu penting bagi DPR.
Secara prosedural memang ada pembahasan anggaran antara komisi-komisi dengan mitra kerja masing-masing dari kementerian dan lembaga.
Akan tetapi proses pembahasan tersebut tak sekalipun memunculkan diskusi serius antar anggota maupun AKD dan Fraksi di DPR demi memastikan kebutuhan anggaran bagi warga di tengah situasi pandemi tercukupi.
Baca juga: Pidato Grace Soal DPR Tak Punya Taji Kritisi Anggaran Negara Dinilai Mengejek Presiden
Sepinya diskusi dalam proses pembahasan anggaran juga dipicu oleh kecenderungan proses pembahasan anggaran yang tertutup antara DPR dan Pemerintah.
Rekam jejak peran Banggar tak terdengar sama sekali.
Padahal seperti Baleg di bidang legislasi, Banggar mestinya menjadi nahkoda di parlemen untuk memastikan keberpihakan anggaran untuk rakyat.
Semuanya terlihat sudah disiapkan secara matang oleh Pemerintah dan DPR tinggal memberikan persetujuan saja.
Pelaksanaan fungsi pengawasan yang biasanya menjadi semacam instrumen penting bagi DPR untuk menunjukkan kekuasaan terhadap Pemerintah tak pernah memunculkan “ancaman” serius.
“Ancaman serius” dalam hal ini misalnya diekspresikan melalui pewacanaan penggunaan hak-hak istimewa DPR seperti interpelasi, angket, dan hak menyatakan pendapat.
Kritikan yang muncul sesekali dari anggota DPR lebih banyak disuarakan melalui media sosial dan media massa ketimbang di ruang rapat sehingga tak mampu memberikan pengaruh dalam perubahan kebijakan Pemerintah.
Baca juga: Formappi Nilai Pernyataan Grace Soal PSI Akan Buat Gaduh DPR Perlu Didukung
Peran pengawasan DPR yang paling krusial yakni pengawasan pelaksanaan APBN semestinya menjadi andalan untuk memastikan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran oleh Pemerintah serta penyalahgunaan anggaran atau korupsi bisa dicegah.
Pengawasan penggunaan APBN DPR seharusnya menjadi salah satu kunci yang bisa mencegah terjadinya korupsi baik yang dilakukan oleh anggota DPR maupun oleh eksekutif.
Padahal saban tahun, DPR selalu mendapatkan hasil audit keuangan negara oleh BPK yang didalamnya sudah tertulis berbagai dugaan penyimpangan yang terjadi di Kementerian dan Lembaga.
Temuan penyimpangan oleh BPK tersebut semestinya mengganggu DPR ketika berhadapan dengan mitra yang diduga melakukan penyimpangan itu.
Ketika laporan BPK hanya menjadi tumpukan file yang siap masuk keranjang sampah, maka DPR sesungguhnya tak menganggap penting kerja BPK sekaligus tak menganggap penting praktek bernegara yang bersih dari korupsi.
Kinerja buruk DPR dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pokok mereka di tahun 2021 juga diperparah dengan berbagai kebijakan internal DPR.
Kebijakan mencolok yang dikritik secara luas terkait dengan munculnya keinginan dan permintaan DPR akan beberapa fasilitas khusus seperti plat kendaraan khusus, tempat isolasi mandiri di hotel, dll.
Kebijakan khusus DPR di tengah tuntutan situasi krisis karena pandemi tentu saja sulit dipahami oleh akal sehat dan juga nurani.
Bagaimana bisa anggota DPR yang merupakan wakil rakyat itu masih sempat-sempatnya memikirkan fasilitas khusus untuk mereka di tengah kondisi darurat pandemi yang berdampak secara langsung pada perekonomian warga dan juga kesejahteraan warga. Kengototan DPR untuk tetap menerima fasilitas-fasilitas itu membuktikan wajah suram DPR yang kian jauh dari rakyat.
Baca juga: KLHK Tangani 941 Pengaduan Kasus Lingkungan Hidup Selama Tahun 2021
Sebutan wakil rakyat nampak tak punya makna ketika mereka menerima fasilitas istimewa disaat rakyat sedang sekarat.
Peran pimpinan sebagai AKD yang fokus untuk menjadi juru bicara DPR, mengkoordinasikan kegiatankegiatan di DPR juga berperan penting menghasilkan kinerja DPR yang buruk.
Pimpinan DPR yang sekaligus menjadi Pimpinan Bamus beberapa kali terlihat “menyandera” agenda pembahasan RUU di paripurna seperti RUU PDP.
Peran pimpinan untuk memfasilitasi pembahasan RUU maupun pelaksanaan fungsi-fungsi DPR lainnya justru menjadi penghambat. Apalagi ketika informasi mengenai kesibukan pimpinan tertentu untuk kepentingan politik pribadi lebih mendominasi di ruang publik dibandingkan dengan mengurus pengkoordinasian kerja-kerja parlemen, maka tak mengherankan jika banyak agenda parlemen menjadi terbengkelai. Persetujuan pimpinan untuk mengesahkan Pansus RUU IKN dengan mengabaikan aturan Tatib juga adalah bukti kekurangprofesionalan Pimpinan menjalankan tugas.
Dengan semua catatan di atas, FORMAPPI melihat DPR meleset dari apa yang diharapkan.
Kekuasaan DPR yang begitu besar menjadi tak berarti ketika hanya diabadikan untuk kepentingan mereka sendiri dan elit di partai politik.