Selasa, 9 September 2025

Gappri: Rugikan Negara, Penindakan Rokok Ilegal Harus Sampai ke Produsen

Henry Najoan mengatakan kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal

Penulis: Sanusi
Editor: Wahyu Aji
TribunSolo.com/Tri Widodo
ILUSTRASI Satpol PP Boyolali menunjukkan rokok ilegal hasil penemuan di lapangan. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar.

Hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021 dinyatakan peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp 53,18 triliun.

“Sejatinya kondisi industri hasil tembakau legal tidak sedang baik-baik saja. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi riil IHT legal nasional saat ini,” kata Henry Najoan di Jakarta, Kamis (27/1/2022).

Menurut Henry Najoan, hingga saat ini penindakan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah belum dapat mengungkap sampai ke ranah hulu (produsen).

Pasalnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal makin merugikan penerimaan negara, dan merugikan produsen rokok legal serta berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena kualitas rokok ilegal tidak terkontrol mulai dari bahan bakunya sampai proses produksinya.

Karena itu, untuk melawan perdagangan rokok ilegal, Henry Najoan mendorong pemerintah dengan mempertimbangkan pendekatan multi-metode, termasuk membangun kemitraan, meningkatkan validitas dan keandalan data, meluncurkan kampanye pendidikan dan kesadaran publik, meningkatkan upaya peningkatan kapasitas, dan memprioritaskan intensifikasi pemberantasan peredaran rokok ilegal.

Baca juga: Masyarakat Sipil Tanyakan Komitmen Pemerintah Turunkan Angka Perokok Anak

Kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.

“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan  tirani oleh kebijakan cukai,” kata Henry Najoan.

Berikutnya, kehadiran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Bab VII Cukai, Pasal 40B Ayat (1) menyatakan Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai. Pada Ayat (2) dinyatakan dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

Dalam konteks itu, Henry Najoan menengarai bahwa pelanggaran atas rokok ilegal menggunakan azas ultimum remedium (mengesampingkan pidananya), sehingga ada kesan seolah pemerintah justru menggelar karpet merah atau memberikan insentif bagi rokok ilegal.

Baca juga: Perokok 1,5 Kali Lebih Tinggi Terinfeksi Corona Daripada Tidak Perokok

“Jika dugaan itu benar, seharusnya sanksi tegas diberikan bagi pelaku rokok ilegal sehingga memberikan efek jera, bukan diselesaikan secara administratif yang punya kesan negotiable dengan mengesampingkan pidana,” terang Henry Najoan.

Berdasarkan kajian Tim GAPPRI (2019), dampak ekonomi dari keberadaan industri rokok terhadap perekonomian Indonesia cukup besar.

Pada 2019, diperkirakan output yang tercipta dari keberadaan industri ini mencapai Rp 840,9 triliun. Juga keberadaan industri rokok akan berdampak pada peningkatan nilai tambah ekonomi yang diukur oleh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Pada 2019, keberadaan industri rokok diperkirakan berkontribusi pada penciptaan PDB sebesar Rp 454,8 triliun.

“Nilai tersebut setara dengan 2,9 persen PDB 2019. PDB tersebut terkumpul dari hampir seluruh aktifitas perekonomian, karena begitu luasnya keterkaitan langsung dan tidak langsung industri rokok, dan kontribusinya bagi penciptaan pendapatan rumah tangga  nasional sebesar Rp 141 triliun,” terang Henry Najoan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan