Kamis, 14 Agustus 2025

Wamenkumham Pastikan RUU TPKS Tidak Akan Berbenturan dengan Undang-undang Lain

Edward Omar Sharif Hiariej memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak akan berbenturan.

Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej saat jumpa pers terkait RUU TPKS dan RUU Perampasan Aset di Gedung Ditjen Imigrasi, Jakarta, Selasa (22/2/2022). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak akan berbenturan dengan undang-undang lain.

"Karena ketika menyusun RUU TPKS ini, kami menyandingkan dengan berbagai aturan. Baik yang ada dalam rancangan maupun undang-undang existing," ucap Edward dalam jumpa pers di Gedung Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Jakarta, Selasa (22/2/2022).

Dia menerangkan bahwa yang ada dalam rancangan adalah RUU KUHP.

Sementara yang existing ada empat, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Baca juga: Proses Legislasi RUU TPKS Harus segera Dilanjutkan, Kedepankan Efektivitas Pembahasan

Artinya, lanjut Edward, dengan menyandingkan RUU TPKS dengan undang-undang lainnya maka tidak akan tumpang-tindih.

Dengan kata lain semua yang perlu diatur baik dalam RUU KUHP dan empat undang-undang existing dimasukkan ke dalam RUU TPKS.

"Jadi, tidak akan mungkin tumpang-tindih," kata Wamenkumham.

Secara substansi, RUU TPKS yang merupakan inisiatif DPR tersebut lebih menitikberatkan pada hukum acara.

Hal itu dilatarbelakangi temuan 6.000 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas HAM.

"Mirisnya, dari ribuan kasus tersebut, kurang dari 300 kasus yang bisa dijadikan kenyataan perkara atau sampai sampai ke pengadilan. Dengan kata lain, kurang dari 5 persen kasus yang bisa naik ke meja hijau," ujarnya.

Artinya, kata Wamenkumham, ada sesuatu yang salah dengan hukum acara di Indonesia sehingga dari 6.000 kasus kekerasan seksual yang terjadi, kurang dari 300 kasus yang bisa diproses hukum.

Oleh karena itu, dia memandang penting hukum acara di dalam RUU TPKS diatur sedetail mungkin dan komprehensif," kata dia.

Sebagai contoh, satu saksi dengan alat bukti, sudah cukup bagi aparat penegak hukum untuk memproses kasus kekerasan seksual.

Begitu pula, keterangan korban dan alat bukti lain juga sudah cukup dan beberapa hal lainnya.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan