Rabu, 8 Oktober 2025

OTT Menteri KKP

Respons Firli Bahuri soal Hukuman Edhy Prabowo Dipangkas Jadi 5 Tahun

Hukuman Edhy Prabowo dipangkas jadi 5 tahun, begini tanggapan Ketua KPK Firli Bahuri.

Penulis: Shella Latifa A
Tribunnews/Jeprima
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri memberikan keterangan pers dengan menghadirkan para tersangka kasus korupsi yang melibatkan Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi atau Pepen, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (6/1/2022). KPK menetapkan 9 orang tersangka kasus korupsi terkait dengan pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di pemerintahan Kota Bekasi dan mengamankan barang bukti uang mencapai Rp 5,7 miliar dengan perincian Rp 3 miliar dalam bentuk tunai dan sisanya saldo rekening buku tabungan. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri ikut menanggapi hukuman Eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang dipangkas.

Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman Edhy yang sebelumnya divonis 9 tahun penjara saat di tingkat banding. 

Firli menyampaikan pihaknya sebagai lembaga penegak hukum menghormati segala putusan MA.

Baca juga: MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun, Pengamat: Secara Hukum Itu Tidak Benar

Dikatakannya, KPK sudah bekerja berdasarkan alat bukti yang terkumpul sejak perkara masuk pengadilan.

"KPK selalu bekerja berdasarkan alat Bukti yg cukup bhw seseorg itu dpt dijadikan tersangka , dimana berdasarkan bukti yang cukup itu, KPK mengajukan suatu perkara ke Pengadilan."

"Tentu dengan putusan MA, kami selaku aparat penegak hukum, lembaga KPK sangat-sangat menghormati putusan peradilan," kata Firli Bahuri melalui cuitan akun Twitter-nya @firlibahuriofficial, Kamis (10/3/2022).

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut pihaknya akan mengawal proses pembangunan IKN Baru agar tak jadi ladang korupsi
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut pihaknya akan mengawal proses pembangunan IKN Baru agar tak jadi ladang korupsi (Twitter @KPK_RI)

Dia menambahkan KPK masih menunggu rilis dari putusan kasasi.

Setelah diterima, pihaknya akan mempelajari dan mengambil tindak lanjut dari kasasi itu.

Baca juga: Hukuman Edhy Prabowo Dikorting, KPK Singgung Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa

Di sisi lain, ia meyakini bahwa hakim lebih memahami perkara dibanding pihaknya.

Oleh karena itu, pihaknya menghormati apa yang diputuskan MA.

"Tapi yang pasti adalah Hakim lebih memahami dan lebih mengetahui setiap perkara yang diputuskan."

"Karen ada prinsip hukum IUS CURIA NOVIT yang artinya, Hakim sangat mengetahui perkara yang diputuskannya."

"Beliau Yang Mulia-lah yang lebih tahu, dan setelah kami terima salinan putusan Kasasi MA tersebut, selanjutnya KPK akan pelajari, dan barulah kita menentukan sikap," jelas dia.

Sebelumnya, hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dikorting jadi 5 tahun pada tingkat kasasi.

Diketahui, Edhy ditetapkan sebagai tersangka perkara suap terkait izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL).

Di tingkat kasasi, hukuman Edhy dipotong jadi 5 tahun, padahal sebelumnya di tingkat banding ia  divonis 9 tahun penjara.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp400 juta," bunyi petikan putusan Mahkamah Agung (MA) seperti dikutip Tribunnews.com, Rabu (9/3/2022).

Tak hanya megurangi pidana kurungan, MA turut mengurangi pencabutan hak politik mantan politikus Partai Gerindra itu dari 3 tahun menjadi 2 tahun.

Hukuman tersebut dihitung setelah Edhy Prabowo menjalani masa kurungan.

Dalam pertimbangannya, hakim beralasan bahwa pengurangan hukuman Edhy Prabowo dilakukan karena hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo.

Menurut hakim, Edhy Prabowo dianggap telah bekerja dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Baca juga: KPK Jebloskan Ainul Faqih Staf Istri Edhy Prabowo ke Lapas Sukamiskin

Dia memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan.

"Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan kepada nelayan," tulis putusan tersebut.

Putusan kasasi dibacakan pada Senin (7/3/2022).

Susunan hakimnya antara lain Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani.

Putusan MA ini lantas menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.

Deretan Kritik soal Putusan MA Hukum Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun

Terdakwa kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster tahun 2020, Edhy Prabowo menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021). Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan (KKP) tersebut dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tribunnews/Irwan Rismawan
Terdakwa kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster tahun 2020, Edhy Prabowo menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021). Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan (KKP) tersebut dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

Sebagaimana diberitakan Tribunnews.com, putusan oleh MA terhadap Edhy ini pun dibanjiri kritik oleh sejumlah pihak.

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel pun mempertanyakan logika putusan MA tersebut.

“Bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi namun pada saat yang sama disebut berkinerja baik?,” ujarnya, Kamis (10/3/2022) dikutip dari Kompas.com.

Selain itu, menurut Reza, perbuatan korupsi malah menurunkan kepuasan kerja sehingga ketika kepuasan kerja turun maka akan berdampak kepada kinerja yang anjlok.

“Korupsi akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif. Konsekuensinya performa akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi,” kata Reza.

Reza menambahkan korupsi yang dilakukan oleh pejabat harus diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya.

Menurutnya, intergritasi adalah elemen mutlak dalam penilaian kinerja seorang pejabat publik.

“Selama elemen itu belum terpenuhi maka elemen-elemen lainnya tak lagi menentukan,” tuturnya.

Sementara perilaku Edhy melakukan korupsi, menurut Reza, adalah sebuah tanda di mana komitmen rendah yang dimiliki Edhy pada organisasi yang dipimpinnya.

“Dengan komitmennya yang rendah, bagaimana mungkin dirinya sepenuhnya berpikir dan bekerja untuk membawa kebaikan bagi lembaganya?”

“Jadi kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasi dari kerja para personel birokrasi kementerian itu sendiri, bukan akibat atau kontribusi dari pejabat yang melakukan korupsi,” imbuhnya.

Putusan Dinilai Salah

Kritik juga dilontarkan oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur.

Dikutip dari Kompas.com, Isnur menilai alasan putusan MA adalah salah.

“Ada kekeliruan dalam argumentasi itu, sebab justru ketika menjadi menteri lah dia melakukan kejahatan korupsi,” ujar Isnur.

Selain itu, menurut Isnur, putusan tersebut menunjukkan lembaga hukum tertinggi di Indonesia itu tidak memiliki semangat yang sama dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Terdakwa kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster tahun 2020, Edhy Prabowo menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021). Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan (KKP) tersebut dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tribunnews/Irwan Rismawan
Terdakwa kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster tahun 2020, Edhy Prabowo menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021). Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan (KKP) tersebut dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

Hal tersebut dikarenakan dalam UU tersebut, korupsi dinyatakan sebagai kejahatan serius.

“Sementara MA menggambarkan bahwa korupsi adalah pidana yang ringan dan tidak menunjukkan bahwa ini berdampak pada bangsa,”

Bahkan, kata Isnur, seharusnya MA memperberat hukuman pidahan Edhy.

Baca juga: ICW Nilai Alasan MA Korting Hukuman Edhy Prabowo Karena Baik Saat Jadi Menteri Absurd

Dirinya pun menyatakan adanya indikasi tren baru di dalam MA untuk memberikan keringanan pada pelaku korupsi.

Isnur juga menganggap tren itu kian tampak setelah Artidjo Alkostar tidak lagi duduk sebagai hakim agung.

“Setelah Pak Artidjo pensiun kita melihat ada semacam perubahan semangat di MA dengan memberikan putusan ringan atau membebaskan terdakwa perkara korupsi,” jelasnya.

Jabatan Menteri KKP Harusnya Jadi Pemberat Hukuman Edhy

Tak ketinggalan, kritik juga dikatakan oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

Menurutnya, MA harus melihat kasus yang menimpa Edhy dari segi jabatannya sebagai menteri.

Hadjar menilai jabatan tersebut seharusnya menjadi faktor pemberat dalam perkara korupsi Edhy ini.

“Jika MA mempertimbangkan kinerja seseorang ketika menjabat dalam jabatan publik sebagai menteri, dalam kasus Edhy Prabowo maka seharusnya jabatan itu menjadi faktor yang memberatkan hukuman,” ujar Hadjar.

Dari segi hukum, kata Hadjar, orang yang menduduki jabatan publik sebagai menteri harus melahirkan kewajiban dan memberikan yang terbaik kepada masyarakat.

Lalu, lanjutnya, menteri diangkat oleh presiden dan digaji oleh rakyat karena pendapatan negara berasal dari pajak rakyat.

“Ketika dia melakukan korupsi dalam jabatannya,sesungguhnya itu justru merupakan suatu pengkhianatan terhadap tugas dan kewajiban kepada negara dan rakyat,” tuturnya.

Kemudian, Hadjar mengatakan MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indoensia memiliki kewenangan mengurangi atau menambah hukuman.

Sementara, hukuman adalah konteks yuridis dari konsekuensi perbuatan seseorang.

Hadjar menambahkan, masa dan bentuk hukuman itu dibatasi oleh pasal-pasal yang dilanggar, atau ketentuan-ketentuan hukum pidana.

“Hakim dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tidak boleh memberikan hukuman melebihi batas maksimal dari hukuman dalam sebuah ketentuan.”

“Bahwa ada pengurangan atau penambahan hukuman itu memang kewenangan lembaga peradilan,” kata Hadjar.

(Tribunnews.com/Shella Latifa/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)(Kompas.com/Aryo Putranto Saptohutomo/Tatang Guritno)

Baca berita lain terkait OTT Menteri KKP

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved