Senin, 8 September 2025

DPR Yakin Tak Ada Kaitan Merosotnya Skor IPK dengan Revisi UU KPK

Sejauh ini keyakinan publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi itu hanya terbatas pada giat operasi tangkap tangan (OTT).

Tribunnews.com/ Fersianus Waku
Politisi Gerindra Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/10/2022). 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, yakin merosotnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terkait penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia bukan dampak dari perubahan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebab, kata Habiburokhman, penilaian terhadap persepsi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, dan bersifat subyektif.

"Gak ada kaitannya (dengan revisi UU KPK) atau tunjukkan pada saya secara ilmiah dimana kaitannya. Namanya persepsi tentu subyektif dan tergantung banyak faktor," kata Habiburokhman saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu (1/2/2023).

Dirinya malah berkeyakinan faktor paling besar dari menurunnya IPK tersebut karena minimnya pemahaman masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi.

Baca juga: Eks Penyidik KPK: Penurunan IPK Merupakan Tanggung Jawab Jokowi Sebagai Kepala Negara

Sebab dalam UU KPK yang terbaru, kata dia, memiliki grand strategi yang berjenjang yakni mulai dari edukasi, pencegahan, dan penindakan.

"Menurut saya faktor terbesar justru belum maksimalnya pemahaman publik tentang grand strategi pemeberantasan korupsi di UU KPK yang memadukan antara edukasi, pencegahan dan penindakan," kata dia.

Dirinya menduga sejauh ini keyakinan publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi itu hanya terbatas pada giat operasi tangkap tangan (OTT).

"Selama ini publik hanya dicekoki dengan berita soal kesan heroiknya penindakan terutama OTT. Berita yang dramatis tentu gampang menarik perhatian dan apresiasi publik," ucapnya.

Jika giat OTT tersebut dilakukan maka publik, kata Waketum Gerindra INI, baru terlihat upaya negara dalam memberantas korupsi.

Padahal, menurutnya, giat OTT bukan menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan korupsi di tanah air.

"Kalau mau naikkan IPK secara instan semestinya gampang , perbanyak saja penjndakan dan OTT. Tapi apakah akan selesai sampai disitu? tindak pidana korupsi akan turun hanya dengan ramainya OTT?" ucap Habiburokhman.

"Jawabannya tentu tidak. kita hanya bisa berhasil menurunkan tindak pudana korupsi kalau kita mampu memadukan edukasi, pencegahan dan penundakan," tukasnya.

Baca juga: Skor IPK 2022 Turun, KPK: Pekerjaan Rumah yang Harus Dicarikan Solusinya

Sebelumnya, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021.

Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Dengan raihan tersebut, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun sebelumnya yang mencapai rangking 96.

Menurut mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Praswad Nugraha, penurunan IPK tersebut merupakan tanggung jawab Presiden Jokowi selaku kepala negara.

"Kata-kata Presiden Joko Widodo terkait kerja, kerja dan kerja dalam kampanye calon presiden pada 2019 yang lalu akhirnya menjadi kenyataan. Ironisnya kerja tersebut dikongkritkan Presiden Joko Widodo secara nyata melalui kerja pelemahan pemberantasan korupsi," kata Praswad lewat keterangan tertulis, Selasa (31/1/2023).

Diketahui, penurunan skor IPK ini diikuti pula dengan turunnya komponen PRS International Country Risk Guide, PERC Asia, dan sub-komponen lain secara signifikan.

Beberapa komponen dimaksud mencerminkan terpuruknya performa kinerja pemberantasan korupsi hampir di semua aspek, termasuk competitiveness yang selalu digadang-gadang dalam sektor investasi.

Alih-alih melakukan berbagai upaya penguatan, menurut Praswad, Jokowi tidak ada hentinya mengeluarkan paket kebijakan yang secara vulgar memukul mundur kinerja pemberantasan korupsi.

Seperti pemberlakuan revisi UU KPK, tidak terungkapnya pelaku intelektual penyerangan Novel Baswedan, serta pemberhentian pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan melanggar HAM dan maladministrasi.

"Hal itu ditambah dengan semakin menurunnya kualitas kasus yang ditangani KPK adalah contoh nyata proses pelemahan tersebut," kata Praswad.

"Diperburuk lagi, tontonan drama klasik dinasti politik semakin membabi buta telah bisa dilihat oleh publik secara kasat mata tanpa malu-malu lagi," lanjut Ketua IM57+ Institute itu.

Praswad juga mengatakan Presiden Jokowi tidak menepati janji kampanye untuk memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi yang berkontribusi secara signifikan dalam penurunan skor IPK terburuk pasca-reformasi.

Bahkan, diingatkannya, Jokowi pernah menyampaikan akan menambah 1000 penyidik untuk memperkuat KPK.

"Akan tetapi, alih-alih memperkuat, pelemahan terhadap sendi-sendi anti-korupsi terus dilakukan, termasuk malah mengurangi jumlah pegawai KPK melalui pemecatan. Hasilnya, saat ini janji penguatan hanya sekedar menjadi basa-basi belaka," sindirnya.

Praswad menyebut narasi yang dibangun Presiden Jokowi melakukan revisi UU KPK dengan dalih memperkuat pemberantasan korupsi ternyata hanya sekadar halusinasi belaka untuk menutupi kepentingan lainnya.

Pasca-revisi, menurutnya, ternyata kondisi pemberantasan korupsi tindak kunjung membaik.

Artinya, Praswad mengatakan, hasil IPK yang membuat Indonesia bahkan berada di bawah negara yang belajar di Indonesia menjadi bukti penguat bahwa revisi UU KPK untuk memperkuat KPK hanya merupakan halusinasi belaka.

"Dan hari ini faktanya pemberantasan korupsi kita melemah dan terpuruk pada titik terendah," kata dia.

Ia berpendapat apabila kondisi ini didiamkan maka akan adanya dampak yang signifikan pada sektor lainnya.

Hal tersebut mengingat anti-korupsi adalah enabling factor (faktor yang memungkinkan) bagi perlindungan HAM, sehatnya ekonomi, perlindungan lingkungan dan keberlanjutan.

"Rakyat harus menyadari bahwa narasi-narasi keberpihakan pada sikap anti-korupsi tidak lebih dari kata-kata omong kosong tanpa makna. Semakin hari, semakin banyak bukti nyata bahwa rezim pemerintahan ini terus memukul mundur demokrasi dan pemberantasan korupsi," kata Praswad.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan