Syarat Kelulusan Mahasiswa: Skripsi Tak Lagi Jadi Syarat Utama, Tak Wajib Masuk Jurnal untuk S2-S3
Standar kelulusan bagi mahasiswa tingkat S1 atau Sarjana Terapan, tidak lagi diwajibkan membuat skripsi, jurnal tak diwajibkan untuk S2 dan S3
Penulis:
Galuh Widya Wardani
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) resmi membuat kebijakan baru terkait dengan standar kelulusan para mahasiswa perguruan tinggi.
Standar kelulusan bagi mahasiswa tingkat S1 atau Sarjana Terapan, kini tidak lagi diwajibkan membuat skripsi.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim mengatakan, seluruh kebijakan terkait standar kelulusan sudah diserahkan sepenuhnya kepada setiap program studi (prodi) dan kampus.
Sementara bagi mahasiswa program Magister dan Doktoral, S2 dan S3, masih diwajibkan membuat tugas akhir.
Namun, tugas akhir itu sudah tidak lagi wajib diterbitkan di jurnal.
Baca juga: Nadiem Makarim Tegaskan Tanpa Tesis dan Disertasi Tak Turunkan Kualitas, Mahasiswa Wajib Lakukan Ini
"Sekarang sudah nggak zaman, sekarang zamannya lari cepat, sekarang zamannya kemerdekaan kampus dijamin."
"Menghilangkan kewajiban (tugas akhir Skripsi) pada program studi Sarjana Terapan S1 atau D4, tapi mendorong perguruan tinggi menjalankan kampus merdeka dan berbagai inovasi."
"Mahasiswa untuk magister S2 dan S3 masih wajib diberikan tugas akhir, jadi buat mereka masih wajib tugas akhir, tapi tidak lagi wajib diterbitkan di jurnal," kata Nadiem Makarim dalam pidatonya di acara Merdeka Belajar eps 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang tayang di YouTube KEMENDIKBUD RI, Selasa (29/8/2023).
Dengan demikian, perguruan tinggi sendiri-lah yang merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi sebagai standar kelulusan.
"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototype, proyek, bisa berbentuk lainnya, keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi," ungkap Nadiem.
Adapun caranya, pihak kampus atau program studi memberikan penjelasan ke Badan Akreditasi bahwa mahasiswanya sudah melalui berbagai macam tes kompetensi di dalam pendidikannya selama menempuh pendidikan.
Baca juga: Nadiem Makarim Tak Wajibkan Skripsi, Rektor Universitas Teknik Sumbawa: Beri Keleluasaan Kampus
"(Pihak kampus menjelaskan ke Badan Akreditasi) bahwa 'saya merasa saya tidak membutuhkan tugas akhir untuk bisa membuktikannya karena saya sudah membuktikan selama bertahun-tahun ini', jadi untuk beberapa kampus atau prodi yang merasa proses mereka sudah selesai dengan (melakukan uji) Project B sudah ada pembuktian hasil kompetensi, maka tugas akhir tidak wajib lagi," tegas Nadiem.
Menurut Nadiem, ini adalah transformasi besar yang dilakukan Kemendikbud.
Sebab, kementerian ingin memberikan kepercayaan kembali kepada setiap kepala prodi, dekan, dan kepala departemen untuk menentukan ujian apa yang cocok untuk mahasiwanya.
"Ada cara-cara lain untuk membuktikan hasil lulusan mahasiwanya," sambung Nadiem.
Dampaknya, kampus atau prodi semakin bebas mendorong mahasiswa melakukan pendidikan di luar kampus.
Misalnya melalui project best learning, proyek di lapangan, dan proyek riset lainnya.
Menurut Nadiem, kewajiban pukul rata terhadap standar nasional kelulusan kampus sudah tidak relevan lagi digunakan di Indonesia.

Baca juga: Bukan Dihapus, Nadiem Tegaskan Syarat Skripsi agar Lulus Dikembalikan ke Perguruan Tinggi
Penyederhanaan SKS
Nadiem juga membenahi pengaturan waktu tatap muka pembelajaran.
Kemendikbud Ristek melakukan penyederhanaan standar proses pembelajaran yang tadinya diatur secara spesifik.
Sebelumnya dalam 1 SKS ditempuh dalam waktu waktu 50 menit per minggu.
Sekarang pemerintah mendefinisikan satu SKS sebagai 45 jam per semester.
Hal ini disebabkan banyaknya mahasiswa yang keluar kampus untuk mengerjakan hal lain, misalnya proyek.
"Pembagian SKS udah nggak relevan lagi, kita harus secara preskriptif mengatur komposisi dari harus berapa di dalam ruang kelas, berapa yang jam waktu PR ya dan lain-lain, kegiatan mandiri berapa, ini udah tidak relevan lagi di dunia sekarang setiap mata kuliah setiap prodi akan punya standarnya sendiri."
"Kami tidak bisa melakukan itu kalau standarnya sangat kaku dan preskriptif, sehingga sekarang kami mendefinisikan satu SKS itu sebagai 45 jam per semester dan pembagian waktu itu ditentukan masing-masing perguruan tinggi, terserah itu big deal-nya," ungkap Nadiem.
Penilaian dan mata kuliah sekarang juga tidak bisa berbentuk penilaian lulus atau tidak lulus.
"Misalnya mereka mahasiswa bermitra dengan satu industri untuk satu semester ada pelatihan tertentu, sangat merepotkan perguruan tingginya dan merepotkan industrinya untuk harus menentukan grade skill yang harus dilakukan oleh industrinya."
"Industrinya nggak peduli itu, industrinya cuman mau ini anak pas apa tidak atau dia udah cukup nggak menguasai kompetensi itu," terang Nadiem.
Baca juga: Nadiem Makarim Klarifikasi Skripsi Diubah Jadi Tak Wajib: Jangan Keburu Senang Dulu
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.