Rabu, 8 Oktober 2025

Kasus Dugaan Korupsi di Kemendikbud

Melalui Replik, Kuasa Hukum Nadiem Sebut Dasar Hukum Penetapan Tersangka Kejagung Prematur

Menurutnya, salah satu pilar utama dalam hukum acara pidana adalah penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah.

Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
PRAPERADILAN NADIEM MAKARIM - Sidang praperadilan Nadiem Makarim terkait kasus korupsi proyek laptop chromebook di Kemdikbud, di Pengadilan Negeri Jakara Selatan, Jumat (3/10/2025). Kuasa hukum Nadiem Makarim sebut penetapan tersangka dan penahan Nadiem Makarim yang dilakukan Kejaksaan Agung cacat formil. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Penasihat Hukum Nadiem Anwar Makarim menyampaikan replik atas jawaban yang disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (6/10/2025).

Replik adalah tanggapan atau jawaban yang diberikan oleh pihak penggugat terhadap jawaban tergugat dalam proses persidangan perdata.

Baca juga: Ahli Pidana Ungkit soal Budi Gunawan Saat Beri Keterangan di Praperadilan Nadiem Makarim

Prosedur hukum yang dijalankan Kejagung dalam penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut dinilai cacat hukum, baik secara formil maupun materil, sehingga harus dibatalkan.

Dalam replik yang disampaikan perwakilan Tim Kuasa Hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir, menegaskan pihaknya menolak dengan tegas proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kejagung terhadap kliennya.

Baca juga: Kejagung Patahkan Pembelaan Ayah dan Pengacara Nadiem: Bisa Tersangka Meski Tak Terima Uang

Alat bukti yang digunakan Kejagung untuk menetapkan tersangka dinilai tidak cukup kuat. Selain itu, belum adanya perhitungan resmi kerugian keuangan negara (actual loss) yang dijadikan alat bukti.

"Kami dengan tegas membantah dalil Termohon (Kejagung) yang menganggap tindakannya telah sesuai prosedur. Penetapan tersangka terhadap klien kami tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena syarat utama, yaitu dua alat bukti yang sah, belum terpenuhi," tutur Dodi.

Prematur adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang terjadi lebih awal dari waktu yang seharusnya.

Menurutnya, salah satu pilar utama dalam hukum acara pidana adalah penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah.

Kejagung justru hingga penetapan tersangka pada 4 September 2025, tidak pernah menjelaskan secara rinci bukti yang dimiliki dan kaitan langsung bukti tersebut dengan Nadiem.

Poin krusial yang digarisbawahi adalah tidak adanya hasil audit resmi dari lembaga negara yang berwenang untuk menghitung kerugian negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam kasus korupsi, bukti adanya kerugian negara dan dapat dihitung merupakan unsur pokok yang harus terpenuhi.

“Tanpa perhitungan resmi dari BPK atau BPKP, maka unsur utama dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak terpenuhi. Artinya, penetapan tersangka ini menjadi prematur dan cacat secara materiil," kata Dodi.

Tim kuasa hukum Nadiem berpendapat, asumsi atau audit internal sementara tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk menuduh seseorang telah merugikan negara. Kejagung sebelumnya hanya menyatakan dari hasil audit sementara dan keterangan saksi internal kementerian yang hanya bersifat dugaan atau persepsi administratif, bukan bukti tindak pidana.

Argumentasi mengenai lemahnya bukti diperkuat dengan adanya dugaan pelanggaran prosedur hukum lainnya. Dodi menjelaskan, Nadiem tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Baca juga: Kejagung: Ada atau Tidak Aliran Dana ke Nadiem Makarim Bukan Syarat Penetapan Tersangka

Padahal SPDP merupakan surat pemberitahuan resmi kepada seseorang bahwa dirinya sedang dalam proses penyidikan, yang merupakan hak konstitusional terlapor untuk mempersiapkan pembelaan diri sejak dini.

"Pemohon tidak pernah menerima SPDP dari Termohon. Ketiadaan SPDP tersebut mengakibatkan seluruh proses penyidikan menjadi cacat formil, karena melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mengetahui dan membela diri sejak dini," ujar Dodi.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved