Perempuan Adat Sihaporas Menangis Ceritakan Trauma Anak-anak terhadap Teror dari Polisi
Tomson Ambarita saat ini ditahan oleh pihak kepolisian setelah sebelumnya ditangkap dan dianiaya oleh sekira 50 orang tak dikenal
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Dodi Esvandi
Setelah, kata dia, ia bersama warga komunitas adat berjaga di posko keamanan selama 24 jam.
Saat itu, kata dia, ia dan warga lainnya merasa diintai.
"Sepertinya ada cahaya senter, dan drone itu akan mengintai kami setiap malam. Dan saya di sini hampir 3 minggu. Setiap sore saya akan kontak dengan teman-teman di kampung, bagaimana keadaan saya. Dan mereka mengatakan itu drone masih terus mengintai," kata dia.
Bahkan, kata dia, empat hari lalu, ia mendengar laporan dari warga ada anggota Brimob yang datang ke sana.
Mereka pun kini ketakutan setiap polisi datang ke kampung mereka.
Baca juga: Soal Program Pemerintah Wujudkan Lumbung Pangan Nasional di Merauke, Begini Sikap Masyarakat Adat
"Itu menjadi suatu trauma yang tersendiri bagi kami. Di mana kami merasa dari kepolisian itu datang untuk menangkap kami. Anak-anak juga merasa trauma," kata Mersi sambil menangis.
Anak-anak di kampungnya, kata dia, bersekolah di dekat kantor kepala desa.
Anak-anak, kata dia, kerap melihat pihak kepolisian mendatangi kantor kepala desa tersebut.
"Dan anak-anak pasti melihat dia (personel kepolisian). Begitu anak-anak nanti pulang sekolah, pasti mereka, dari pemikiran mereka setiap mereka melihat polisi, bagaimana keadaan orang tua kami di sana (yang berjaga di pos keamanan kampung)," kata dia.
"Apakah aman orang tua kami di sana? Pasti begitu pemikiran mereka. Makanya setelah pulang nanti dari sekolah, ada nanti masih jumpanya orang tua di kampung, pasti akan bercerita. Tadi kami ada nampak polisi, ada sesuatu yang terjadi kah di sana? Pasti akan ditanyakan anak-anak yang masih SD," sambung dia.
Di samping itu, setelah kejadian penangkapan suaminya itu, sebagai perempuan adat ia harus berjaga 24 jam di posko keamanan tersebut.
Sementara anak-anaknya, ia tinggalkan di rumah yang berada di pemukiman penduduk, 8 Km jauhnya.
"Dan kadang karena kesibukan berjaga di sana, karena kami juga sering, karena dari kepolisian itu sering mengintai kami. Kami itu harus berjaga di sana 24 jam. Dan kadang saya itu bisa bertemu dengan anak saya itu paling cepat sekali 3 hari, dan kadang sekali seminggu," kata Mersi sambil menangis.
Mersi mengaku merasakan adanya ketidakadilan perlakuan yang diterima dirinya dan warga kampung adatnya dari pihak kepolisian.
Selama ini, kata dia, tidak hanya sekali warga masyarakat adat melaporkan apa yang dialami warga dalam konflik dengan pihak PT TPL.
Pengacara Masyarakat Adat Sihaporas yang Ditangkap Minta Kapolri Segera Tarik Perkara ke Mabes Polri |
![]() |
---|
Momentum HIMAS 2024, AMAN Harap Ada Kejelasan RUU Masyarakat Adat di DPR |
![]() |
---|
Sosok Nenek di Simalungun Pelaku Pencabulan Cucu, Kirim Foto Asusila Korban ke Teman Facebook |
![]() |
---|
Sepasang Kekasih di Simalungun Buang Bayi Hasil Hubungan Gelap, Pernah Kubur Jasad Bayi Tahun 2022 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.